MANHAJ ULAMA KIBAR
YANG DISELISIHI “KHAIDIR MAKASSAR”
Oleh:
Abu ‘Abdirrohman
Shiddiq bin Muhammad Al-Bugisi
Editor:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy
Darul Hadits Salafiyyah
Dammaj Yaman
Muqoddimah
سوله.بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده
ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده
الله فلا مضلل له ومن يضلل الله فلا هادي له, وأشهد أن لا إله إلا الله,
وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ور
﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾ [آل عمران: 102] .
“Wahai
orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Alloh sebenar-benarnya
takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan
memeluk agama Islam.”
﴿
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ
وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا
وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ
إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴾ [النساء: 1] .
“Wahai
sekalian manusia! Bertakwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan
kalian dari satu jiwa, dan dari padanya Alloh menciptakan istrinya,
kemudian dari pada keduanya Alloh mengembang biakkan laki-laki dan
perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan
(mempergunakan) namaNya kalian saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Alloh senantiasa
menjaga dan mengawasi kalian.”
﴿يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ
لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ﴾ [الأحزاب: 70، 71].
“Wahai
orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Alloh dan
katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh akan memperbaiki
amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa
yang menta’ati Alloh dan RosulNya maka sungguh dia telah mendapat
kemenangan yang besar.”
فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتُها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.
أما بعد:
Telah sampai ke tangan ana sebuah rekaman suara seorang da’i ([1]) dari Makassar bernama Khaidir bin Sanusi hadahulloh
yang ia lontarkan di awal-awal bulan Sya’ban dalam salah satu
majelisnya. Setelah saya dengarkan ternyata di dalamnya dia menyebar
syubhat bukan ilmu bermanfaat, manhaj ahlul batil bukan manhaj ahlus
sunnah wal jama’ah yang benar, tanpa dia sadari dia telah berupaya
menggoncang keutuhan dakwah salafiyyah yang murni yang tegak di atas
manhaj salafus shalih jauh dari penyelisihan, bid’ah dan maksiat, dan
malah menyeru kepada persatuan semu di atas kaidah ikhwanul muflisin
نتعاون فيم اتفقنا عليه يعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه
“Saling bantu pada perkara yang kita sepakat atasnya dan saling memaklumi pada perkara yang kita berselisih padanya.” ([2])
Allohul Musta’an…
{ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ } [الحشر: 14]
“Permusuhan antara sesama mereka sendiri sangat keras. Kamu sangka mereka itu bersatu padahal hati-hati mereka berpecah belah Sesungguhnya yang demikian itu dikarenakan mereka adalah kaum yang tidak berakal.” [Al-Hasyr: 14].
Jangan tertipu dengan doanya di akhir majlis yang berbunyi: “Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberi kita hidayah seluruhnya dalam menjaga keutuhan dakwah, tersebarnya ilmu, tegaknya tauhid, tegaknya aqidah.., manhaj ahlus sunnah wal jamaa’ah”
karena
sesungguhnya apa yang keluar dari mulutnya dalam majlis sangat
bertentangan jauh dengan isi doanya, dan menunjukkan minimnya ilmunya,
kroposnya manhajnya, hanya saja dia punya modal taqlid, ([3])
maka yang pantas dikatakan kepadanya adalah: “Teruslah berdoa dan
berusaha memperbaiki dirimu ya Khaidir karena kamu termasuk orang yang
sangat butuh dengan doa tersebut dan apa yang terpapar dalam risalah
sederhana kami ini sebagai bukti ucapan tadi,” wabillahit taufiq.
Juga
yang ana ingin ingatkan kepadamu wahai Khaidir bahwa keberadaanmu
sebagai dai di sana janganlah menghalangimu untuk terus menambah dan
memuroja’ah ilmu yang telah kamu miliki,
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا } [التحريم: 6]
“Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri-dirimu dan keluargamu dari api neraka.” [At-tahrim: 6].
Jangan
terus disibukkan ngisi ke sana ngisi ke sini akhirnya lupa membenahi
diri sendiri yang mengkibatkan kamu terjatuh pada kesalahan semacam ini
disebabkan kurang memuroja’ahi kaidah-kaidah ahlul hadits dan manhaj
ahlus sunnah wal jama’ah[4],
jadilah permisalanmu bagaikan lilin yang menerangi namun kamu sendiri
lambat laun akan habis sendiri. Demikianlah yang kami dapati dari para
masyayikh di Dammaj terutama Syaikh kami Yahya Al-Hajuri hafidzahullah mereka rutin menggandengkan antara dakwah dan menimba ilmu, dan ini adalah kebiasaan salaf Imam Ahmad rahimaullah ditanya: “Sampai kapan Anda akan menuntut ilmu?” Beliau menjawab: “Dari awal menuntut ilmu sampai liang lahad (wafat)”.
Dikatakan kepada ibnu Mubarok:
إلى متى تطلب العلم ؟ قال : « حتى الممات إن شاء الله »
“Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” Beliau jawab: “Sampai mati insya Allah.” [Dinukil dengan sanadnya oleh ibnu 'Abdil Bar rahimahullah di Jami' Bayan Al-'ilm wa Fadhlih 1/192 cet. Dar ibnu Hazm].
Berkata seorang penyair:
إذا لم يذاكر ذو العلوم بعلمه ولم يستزد علما نسي ما تعلما
“Apabila
seorang yang berilmu tidak memuroja’ahi ilmunya dan tidak pula menambah
ilmu dia akan lupa apa yang telah dia pelajari.” [Jami' Bayan Al-'ilm
wa Fadhlih 1/206].
Akhirnya manakala Khaidir hadahullah berlagak bahwa dia bersama ulama besar dan berdalih dengan satu-satunya hadits yang disebutkan dalam majlisnya:
البركة مع أكابركم
“Berkah itu bersama dengan orang-orang besarnya kalian”
Yang akan datang bantahannya dipembahasan “membongkar syubhat Khaidir dalam taqlid”, karenanya saya memilih judul “Manhaj ‘Ulama Kibar yang diselisihi Khaidir Makassar“
Tiba saatnya masuk kepada inti pembahasannya dengan hanya memohon kepada Allah ta’ala semata bantuan dan taufiqNya.
Pentingnya membantah ahlul Batil di sisi Ulama Besar
Allah ta’ala berkata:
{وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ } [الأنعام: 55]
“Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat (Al-Quran) supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa.” [Al-An'am: 55]. ([5])
Dan berkata:
{وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا } [الفرقان: 33]
“Tidaklah
mereka (orang-orang kafir) datang kepadamu dengan suatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu yang benar dan yang paling baik
penjelasannya.” [Al-Furqon: 33].
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata pada tafsir ayat ini:
{
وَلا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ } أي: بحجة وشبهة { إِلا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ
وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا } أي: ولا يقولون قولا يعارضون به الحق، إلا أجبناهم
بما هو الحق في نفس الأمر، وأبين وأوضح وأفصحُ من مقالتهم.
“{Tidaklah mereka (orang-orang kafir) datang kepadamu dengan suatu yang ganjil} yaitu: dengan hujjah dan syubhat {melainkan
Kami datangkan kepadamu yang benar dan yang paling baik penjelasannya}
yakni: tidaklah mereka mengucapkan suatu ucapan yang mereka tentang
dengannnya kebenaran melainkan Kami jawab mereka dengan yang benar pada
hakikat perkara, dan lebih jelas, gamblang dan lebih fasih daripada
ucapan mereka.”
Sedemikian pentingnya perkara ini sampai-sampai Imam Ahmad rahimahullah ditanya:
الرجل
يصوم ويصلى ويعتكف : أحب إليك أو يتكلم في أهل البدع؟ قال : إذا صام وصلى
واعتكف فإنما هو لنفسه . وإذا تكلم في أهل البدع فإنما هو للمسلمين. هذا
أفضل .
“Seseorang puasa, sholat dan I’tikaf lebih kamu senangi ataukah yang berbicara tentang ahlul bida’?
Beliau
menjawab: kalau dia puasa, sholat dan I’tikaf itu hanya untuk dirinya
sendiri. Tapi kalau dia berbicara tentang ahlul bida’ itu untuk kaum
muslimin, dan ini afdhol (lebih utama).” ([6])
Dan dikatakan kepada Imam Ahmad rahimahullah:
إنه يثقل عليَّ أن أقول : فلان كذا وفلان كذا. فقال : إذا سكت أنت وسكت أنا فمتى يعرف الجاهل الصحيح.
“Sungguh
berat bagiku untuk mengatakan: Fulan demikian dan fulan demikian. Maka
beliau berkata: kalau kamu diam sayapun diam kapan kiranya yang tidak
tahu mengetahui yang benar.” ([7])
Syaikh Robi’ hafidzahullah berkata:
فهذا
هو منهج السلف الصالح في أن نقد أهل البدع وغيرهم إنما هو من باب النصيحة
لا من باب الغيبة ولا من باب السب والشتم ومعاداة العلماء وهو واجب باتفاق
السلف. وهو أفضل من التطوع بالصلاة والصيام والاعتكاف . وهو من جنس الجهاد.
وعند بعض السلف أفضل من الجهاد. وهو تطهير لدين اللَّـه ولسبيله وشرعه
ومنهاجه.
“Inilah manhaj salaf sholeh bahwa mengkritik ahlul bida’ dan selain mereka itu
termasuk bab nasihat bukan dari bab gibah dan bukan pula celaan,
cercaan, dan permusuhan terhadap ulama dan ini (mengkritik bid’ah atau
kesalahan -pent) itu wajib berdasarkan kesepakatan salaf. Dan dia lebih
utama daripada sholat sunnah, puasa sunnah dan I’tikaf, Dan termasuk
dari jenis jihad dan di sisi sebagian salaf lebih utama daripada jihad,
dan dia adalah pembersihan terhadap agama Allah, jalan, syari’at dan
manhajNya.” [Lihat atsar imam Ahmad dan ucapan Syaikh Robi' ini di "Jama'ah wahidah laa jama'aat", hal 90-91 cet, Darul Minhaj].
Syaikh Robi’ juga berkata:
فإن
الرد على أهل البدع وجرحهم والتحذير منهم أصل في الإسلام , إذ هو من أهم
أبواب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، ومن أهم أبواب النصيحة للإسلام
والمسلمين, وأول من جرحهم وحذر منهم رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ حيث حذر
من الخوارج في عدد من الأحاديث ووصفهم بأنهم شر الخلق والخليقة , وذم ذا
الخويصرة بعينه والأدلة كثيرة على هذا .
“Sesungguhnya
membantah ahlul bid’ah, menjarh mereka dan memperingatkan (tahdzir)
manusia dari mereka merupakan perkara pokok dalam Islam([8]),
karena itu termasuk bab amar ma’ruf nahi mungkar yang paling penting
dan (juga) termasuk bab nasihat yang terpenting terhadap Islam dan
muslimin. Orang yang pertama kali menjarh dan mentahdzir mereka (yang menyimpang) adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di mana beliau mentahdzir
Khawarij dalam beberapa hadits dan menyifati mereka sebagai
sejelek-sejelek makhluk, dan mencela Dzul Khuwaishirah (pendahulu
Khawarij) dan dalil-dalil yang menunjukkan tentang perkara ini banyak.”
[“Aimmatul Hadits wa Man Sara 'ala Nahjihim…”, hal. 2].
Inilah
yang ditunaikan oleh Syaikh Yahya dan yang bersama beliau pada fitnah
ini, di mana para hizbiyyin Luqmaniyyin gencar menyebar dusta, syubhat,
dan fitnah merekapun bangkit membantah dan menjelaskan kebatilan mereka
dengan hujjah dan bukti yang tak terkalahkan.
Adapun di sisi Khaidir hal tadi dari dua kelompok merupakan sebab perpecahan dan perselisihan sebagaimana pada ucapannya:
“Tapi jelas secara umum
Makassar, Sulawesi tetap kita masih jaga, tetap kita jaga, tetapi sulit
kita membendung di Makassar sudah ada sedikit sebab jelas kapan permasalahan ini dimasukkan terjadi perselisihan“
Dan perkataannya:
“Mungkin kedua dari dua kelompok ini
punya maksud masing-masing mau menjelaskan perkara ini, mau menjelaskan
sesuai dengan pahamnya masing-masing –iya- dalam melihat perkara ini, tapi jelas dan tidak bisa dipungkiri perpecahan di antara salafiyyin dan itu haram“
Kami katakan:
Adapun pihak Hizbiyyin, iya merekalah sebab perpecahan karena membela
kebatilan dan melakukan kemungkaran dan hizbiyyah adapun pihak Syaikh
Yahya maka yang mereka lakukan adalah nasihat dan amar ma’ruf nahi
mungkar yang merupakan sebab persatuan dan keutuhan dakwah salafiyyah di atas kebenaran,
dan insya Allah akan datang tambahan bantahan pada ucapan dan anggapan
Khaidir ini pada pembahasan “Sebab Perpecahan di sisi Ulama Kibar”.
Dan tuduhan Khaidir kepada pihak Syaikh Yahya yang melakukan amar
ma’ruf nahi mungkar sebagai sebab fitnah dan perpecahan adalah sifat
kaum munafiq, dan kami tidaklah menuduh atau mengatakan Khaidir adalah
munafiq tapi dia telah menyerupai mereka pada perbuatannya ini, berkata
Imam ibnul Qoyyim rahimahullah pada sifat-sifat orang munafiq:
ومن
صفاتهم كتمان الحق، والتلبيس على أهله، ورميهم له بأدوائهم، فيرمونهم إذا
أمروا بالمعروف ونهوا عن المنكر ودعوا إلى الله ورسوله بأنهم أهل فتن
مفسدون في الأرض، وقد علم الله ورسوله والمؤمنون بأنهم أهل الفتن المفسدون
في الأرض. (انظر كاملا صفات المنافقين في “طريق الهجرتين” /ص 499-504/فصل
في مراتب المكلفين في الدار/دار ابن رجب).
“Di
antara sifat-sifat mereka adalah menyembunyikan kebenaran, dan
mengadakan pengkaburan terhadap ahlil haq, dan menuduh mereka dengan
penyakit-penyakit mereka sendiri, mereka menuduh mereka (ahlul
haq) apabila memerintahkan kepada yang ma’ruf dan melarang dari
kemungkaran serta menyeru kepada Allah dan RasulNya bahwasanya mereka
adalah juru fitnah, pelaku kerusakan di muka bumi, sedang Allah
dan RasulNya serta kaum mukminin mengetahui bahwa mereka itulah (yakni
orang-orang munafiq) yang juru fitnah dan perusak di muka bumi” [lihat
selengkapnya "Thoriq Al-Hijratain”, hal 499-504].
Manhaj Ulama Kibar Merinci dan Menjelaskan adapun manhaj para pembela kebatilan dan pelakunya menggunakan ucapan-ucapan global dan mutlak
Khaidir berkata: Secara umum
perkara yang dipermasalahkan di Yaman itu sebenarnya itu belum bisa
mendengarnya makanya saya malas menjawab, saya hanya mengarahkan ke makna-makna global, orang berbicara harus sesuai dengan hal tanggapnya orang, bahkan syaikh besar telah berbicara tentang ini –iya- kita diam …saya
isyaratkan di Yaman tapi tidak merinci masalah, -iya- tapi sebagian
orang tidak mau –iya- tunduk di atas kaidah, dipenuhi dengan hawa,
kebencian, pembelaan terhadap kelompok –iya- dan pasti
pembelaan terhadap kelompok -iya- itu dinamakan membela kebenaran, semua
ahlul bida’ seperti itu walaupun kita tidak mengatakan –iya- orang yang
terlibat pada fitnah ini adalah seperti itu.
Di
sini Khadir berkata secara global –sebagaimana itu kebiasaan ahlul bida’
dan penolongnya walaupun kita tidak mengatakan Khaidir adalah ahlul
bida’ namun dia telah meniru mereka pada ucapannya ini-,
Syaikh Rabi’ hafidzahullah berkata ketika membantah salah satu Syaikh kibar anggota Lajnah Da’imah Bakr Abu Zaid rahimahullah
dalam kitab beliau “Haddul Fashil bainal Haqqi wal Bathil” hal 10 cet.
Darul Minhaj, beliau menjelaskan isi kertas pembelaan terhadap Sayyid
Quthub yang dinisbatkan kepada Syaikh Bakr Abu Zaid –rahimahullah-, beliau berkata:
2-
ولأنـها قد تعمد صاحبها الإجمال والإطلاق كما هو شأن كل ناصر للباطل مدافع
عنه، تعييه الأدلة ويعجز عن النقد العلمي الصحيح ومقارعة الحجة بالحجة
فيلجأ إلى التمويه والإجمال والغمغمة، ولا يفرح بـهذه الأساليب إلا الغثاء
الذين لا يدركون هوان الباطل وحقارته ولايدركون قيمة الحق الأبلج ونضارته
ومكانته.
قال الإمام ابن القيم – رحمه الله تعالى -:-
فعليك بالتفصيل والتبيين فالـ إطلاق والإجمـال دون بيان
قـد أفسدا هذا الوجود وخبطا الـ أذهان والآراءكـل زمـان
قال الإمام ابن القيم – رحمه الله تعالى -:-
فعليك بالتفصيل والتبيين فالـ إطلاق والإجمـال دون بيان
قـد أفسدا هذا الوجود وخبطا الـ أذهان والآراءكـل زمـان
2- dan karena penulis kertas tadi terkadang menempuh jalan global dan ithlaq sebagaimana itu kebiasaan seluruh penolong kebatilan dan pembelanya,
tak punya dalil dan tak mampu menegakkan kritik ilmiyyah yang benar
serta menghantam hujjah dengan hujjah (adu hujjah) akhirnya dia
berlindung dengan kata-kata yang samar, global, dan kabur,
tidaklah senang dengan cara-cara seperti ini kecuali orang-orang
rendahan yang tidak merasakan hinanya kebatilan dan rendahnya, dan tidak
mencapai kadar kebenaran yang jernih dan keindahan serta kedudukannya.
Imam ibnul Qoyyim –rahimahullahu ta’ala- berkata:
Berkatalah dengan rinci dan jelas karena pengithlakan dan global tanpa penjelasan
Sungguh telah merusak yang ada ini dan mengendurkan kecerdasan dan akal sehat setiap zaman.-selesai-
Dan berkata rahimahullah:
فأصل الضلال بني آدم من الألفاظ المجملة والمعاني المشتبهة ولاسيما إذا صادفت أذهانا مخبطة فكيف إذا انضاف إلى ذلك هوى وتعصب
“Asal kesesatan bani adam (manusia) itu disebabkan lafadz-lafadz yang global
dan makna-makna yang mutasyabih terutama kalau didengar oleh
orang-orang yang berakal lemah, bagaimana kalau ditambah dengannya hawa
nafsu dan ta’ashshub (fanatik).” [“Ash-Showa'iq” 3/928].
Demikian pada ucapannya: kita
tulis kritikan-kritikan kesalahan-kesalahan dari kelompok ini kelompok
ini, kelompok ini kelompok ini ajukan ke Syaikh Robi’ kalau memang ini
seperti ini maka beliau kasi hukum bahaya saya ndak perlu kasi tahu hukumnya apa, yang disampaikan ndak perlu di sampaikan
Penyelisihan ucapan Khaidir tadi dengan ucapan Syaikh Robi’ yang ia nukil sendiri
Kemudian ucapannya (saya isyaratkan di Yaman tapi tidak merinci masalah), tidak sesuai dengan kalam Syaikh Robi’ yang khaidir nukil sendiri di akhir majelisnya,
dimana kata dia: (bahkan kata
Syaikh Robi’: seluruh yang dituduhkan kepada kelompok yang satu kata
Syaikh Robi’ saya lihat lebih banyak ada pada mereka,… lebih banyak ada
pada mereka, yang dikritik kelompok yang satu begini-begitu Syaikh Robi’
melihat kritikan itu ada pada mereka bahkan lebih banyak)
Pada ucapan Syaikh Robi’ yang Khaidir nukil ini menunjukkan penjelasan dari pihak Syaikh Yahya hafidzahullah itu rinci namun mereka juga terjatuh padanya bahkan lebih.
Tuntutan dan Tantangan mendatangkan hujjah terhadap tuduhan tanpa dasar
Adapun ucapan “namun mereka
juga terjatuh padanya bahkan lebih” dan sebelumnya “dari kelompok dari
sisi Syaikh Yahya terlihat ghuluw di dalamnya”
kami tuntut pengucapnya mendatangkan hujjah
atas itu kalau tidak ucapan ini tiada harganya di sisi ahlul haq
pecinta dalil dan hujjah pembenci taqlid buta, meskipun yang
mengucapkannya adalah orang-orang mulia yang memiliki keutamaan seperti
Imam Ahmad atau Syaikhul Islam rahimahumallah-.
Allah ta’ala berkata:
{ قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ } [البقرة: 111]
“Datangkanlah bukti kalian kalau kalian adalah orang-orang yang jujur”. [Al-Baqarah 111].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
لو يعطى الناس بدعواهم لادعى ناس دماء رجال وأموالهم ولكن اليمين على المدعى عليه
“Kalau
saja manusia diberi sesuai dengan dakwaan mereka, tentu orang-orang
akan mendakwakan darah orang lain dan harta mereka. Akan tetapi sumpah
adalah kewajiban orang yang dituduh.” (HR.Bukhari dan Muslim)
Al-Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata:
قال
العلماء الحكمة في ذلك لأن جانب المدعي ضعيف لأنه يقول خلاف الظاهر فكلف
الحجة القوية وهي البينة لأنها لا تجلب لنفسها نفعا ولا تدفع عنها ضررا
فيقوى بها ضعف المدعي وجانب المدعى عليه قوي لأن الأصل فراغ ذمته فاكتفى
منه باليمين وهي حجة ضعيفة لأن الحالف يجلب لنفسه النفع ويدفع الضرر فكان
ذلك في غاية الحكمة
“Ulama
berkata: Hikmahnya adalah karena posisi penuduh lemah karena dia
menuduh dengan apa yang menyelisihi zhahir maka dibebani mendatangkan
hujjah yang kuat itulah yang dinamakan bayyinah, karena dia (bayyinah)
tidak mendatangkan manfaat bagi dirinya dan tidak pula menolak mudharat
dari dirinya, bayyinah itu yang menguatkan posisi penuduh, sedang posisi
yang tertuduh kuat karena pada asalnya dia lepas dari tuduhan itu maka
dicukupkan darinya sumpah, dan dia (sumpah) adalah hujjah yang lemah
karena orang yang bersumpah mendatangkan manfaat bagi dirinya dan
menolak mudharat, itulah puncak hikmah.” [“Fathul Bari” 5/348].
Berkata imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah:
“أن القول لا يصح لفضل قائله وإنما يصح بدلالة الدليل عليه”
“Bahwa suatu ucapan tidak jadi benar karena keutamaan pengucapnya, hanyasaja benar dengan penunjukan dalil terhadap ucapan tersebut.”
Kemudian beliau mendatangkan ucapan Imam Malik rahimahullah dengan sanadnya, bahwa beliau berkata:
« ليس كلما قال رجل قولا وإن كان له فضل يتبع عليه » يقول الله عز وجل : ((الذين يستمعون القول فيتبعون أحسنه ))
“Tidaklah setiap kali seseorang berkata dengan suatu ucapan –meskipun dia punya keutamaan-
diikuti ucapannya, Allah berkata: “yaitu Orang-orang yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti ucapan yang paling baik.” [Az-Zumar: 18].
[lihat “Jami' bayan al-Ilm wa Fadhlih”, jilid 2 hal. 233, cet. Dar ibnu
Hazm].
Beliau juga memberi bab dalam kitabnya:
66
– باب ذكر الدليل من أقاويل السلف على أن الاختلاف خطأ وصواب « يلزم طالب
الحجة عنده ، وذكر بعض ما خطأ فيه بعضهم بعضا وأنكره بعضهم على بعض عند
اختلافهم ، …
66- Bab penyebutan dalil mengenai ucapan-ucapan salaf bahwasanya perselisihan itu salah-benar mesti menuntut hujjah
ketika itu, dan penyebutan sebagian perkara yang sebagian mereka (para
salaf) menyalahkan sebagian lain padanya, dan pengingkaran sebagian
mereka terhadap sebagian yang lain ketika berselisih,…[lihat “Jami'
bayan al-Ilm wa Fadhlih”, jilid 2 hal. 166, cet. Dar ibnu Hazm].
Syaikh
Robi’ sendiri ketika dituduh dengan tuduhan yang tidak ada pada dirinya
menuntut hujjah kepada penuduh sebagaimana ketika dituduh oleh Syaikh
Bakr Abu Zaid rahimahullah di mana Syaikh Bakr berkata:
(4- لقد طغى أسلوب التهييج والفزع على المنهج العلمي للنقد وافتقد أدب الحوار.)
“Sungguh
metode membesar-besarkan dan mengejutkan lebih dominan daripada metode
ilmiyyah dalam mengkritik dan tidak dihiasi dengan adab berdialog.”
Syaikh Robi’ hafidzahullah jawab:
أقول:
رمتني بدائها وانسلت، وهذه صفات بحثك هذا الذي ضرب أروع الأمثلة في هذه
الصفات وغيرها ولماذا لم تضرب أمثلة من الكتاب لكي يتأكد الناس من صدق ما
تقول؟.
Kukatakan:
Dia menuduhku dengan penyakitnya sendiri, sifat-sifat ini, tulisanmu
inilah contoh yang paling bagus untuk sifat-sifat ini dan selain
sifat-sifat ini, dan mengapa kamu tidak mendatangkan
contoh-contohnya dari kitab tersebut (bantahan Syaikh Robi’ terhadap
Sayyid Quthub -pent) agar orang-orang jadi yakin dengan kebenaran apa
yang engkau ucapkan?. [lihat “Al-Haddul Fashil” hal. 90-91, cet. Darul Minhaj].
Dan
ucapan Syaikh Robi’ ini, bahkan yang lebih buruk dari ini, telah
terbantah dalam beberapa risalah tulisan beberapa masyayikh dan thullab
di sini, di antaranya risalah akhina al-fadhil Abi Fairuz([9]) yang telah diterjemah dan disebar dalam situs www.aloloom.net jazahullahu khairan, jadilah ahlu dammaj yang mencocoki manhaj ulama kibar yang telah lewat dan menerapkannya, walhamdulillah.
Syaikh Sholeh Fauzan hafidzahullah berkata:
نحن
نحب العلماء -ولله الحمد-، ونحب الدعاة إلى الله عز وجل، لكن إذا أخطأ
واحد منهم في مسألة فنحن نبين الحق في هذه المسألة بالدليل، ولا يُنقص ذلك
من محبة المردود عليه ولا من قدره -إلى قوله:- يجب أن نعرف هذا ولا نتكتّم
على الخطأ محاباة لفلان، بل علينا أن نبين الخطأ اهـ. (“الأجوبة
المفيدة”/الحارثي/ص174-176/مكتبة الهدي المحمدي).
“Kami cinta ulama –walillahil hamd-, dan cinta para da’i ilalllah ‘azza wa jalla, akan tetapi kalau salah seorang dari mereka salah dalam suatu masalah maka kami jelaskan kebenaran pada permasalahan ini dengan dalil,
dan itu tidaklah mengurangi kecintaan kita terhadap orang yang
terbantah tidak pula menurunkan kadarnya –sampai ke ucapan beliau- wajib
kita ketahui ini dan tidak menutup-nutupi kesalahan demi fulan, bahkan kewajiban kita menjelaskan kesalahan.” [“Al 'Ajwibah Al-Mufidah” hal. 174-176, di nukil dari risalah “At-Tajliyah” karya Al-akh Abi Fairuz hafidzahullah].
Syaikh Robi’ hafidzahullah berkata:
باب النقد للألباني ولأمثاله مفتوح والله ولا يغضب الألباني ولا أمثاله من حملة السنة … وقد انتقد سعيد بن المسيب وابن عباس وطاووس وأصحاب ابن عباس وانتقدوا وانتقدوا ما قال أحد إن هذا طعن ما يقول هذا إلا أهل الأهواء، فنحن إذا انتقدنا الألباني ما نسلك مسلك أهل الأهواء فنقول لا، لا تنتقدوا الألباني طيب أخطاؤه تنشر باسم الدين وإلا أخطاء ابن باز وإلا أخطاء ابن تيمية وإلا أي واحد أخطأ يجب أن يبين للناس أن هذا خطأ مهما علت منزلة هذا الشخص الذي صدر منه هذا الخطأ). اهـ
… فالنقد من باب إنكار المنكر فنقد الأشخاص السلفيين الكبار إذا أخطأوا بيان خطأهم هذا من باب الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر من باب بيان الذي أوجبه الله ومن باب النصيحة الذي أوجبه الله وحتمها علينا…).
“Pintu
untuk mengkritik Al-Albani dan semisal beliau terbuka dan demi Allah
beliau tidak marah dari itu, tidak Al-Albani dan tidak pula semisalnya
dari para pengemban sunnah … dan telah dikritik Sa’îd bin Al Musayyab
dan ibnu ‘Abbas, Thowûs, dan teman-teman Ibni ‘Abbas mereka dikritik dan
mengkritik dan tidak seorangpun yang mengatakan ini adalah Tho’n (mencerca atau mencela -pent)!!
Tiada yang mengatakan ini melainkan Ahlul Ahwa!! Jadi,
kami apabila mengkritik Al-Albani bukan berarti kita menempuh jalan
ahlul ahwa lalu kita mengatakan: jangan, jangan kalian mengkritik Al
Albani, Thoyyib kesalahan-kesalahannya tersebar atas nama agama!!
Atau kesalahan-kesalahan Ibnu Baz atau Ibnu Taimiyah atau kesalahan
siapa saja, kesalahan apapun wajib untuk dijelaskan kepada manusia bahwa
ini adalah kesalahan setinggi apapun derajat orang itu, yang muncul
darinya kesalahan ini…
…Maka mengkritik (tegur salah) termasuk dari ingkarul mungkar, maka mengkritik individu-individu salafiyyin kibar apabila mereka salah dan menjelaskan kesalahan mereka kepada orang-orang ini termasuk dari amar ma’ruf nahi mungkar
dan dari bab menerangkan apa yang Allah wajibkan dan bab nasehat yang
Allah wajibkan dan haruskan bagi kita….[dinukil dengan ringkas, lihat
"Al Ajwibah As Salafiyah 'Ala Asilati Abi Rowâhah Al Manhajiyyah", hal
16-20]
Siapa Sebenarnya Yang Tidak Mau Tunduk Dengan Kaidah?
Telah lewat penjelasannya bahwa makna ucapan Syaikh Robi yang dinukil
oleh Khaidir sendiri dalam majlisnya menunjukkan bahwa penjelasan dari
pihak Syaikh Yahya hafidzahullah itu rinci, dan demikianlah kenyataannya berpuluh-puluh risalah([10])
terbit dari ahlu dammaj yang dipenuhi dengan hujjah-hujjah dan
bukti-bukti merinci penyimpangan dan kesalahan ‘Abdurrahman dan
komplotannya, yang alhamdulillah sebagian kecil telah diterjemah dan disebar oleh sebagian penuntut ilmu asal Indonesia,
Dan merupakan kaidah tetap di sisi ahlul hadits, ulama kibar adalah “jarh yang terperinci lebih dikedepankan daripada pujian (ta’dil) yang bersifat global“
Berkata Al-Hafidz ibnu Katsir rahimahullah:
أما
إذا تعارض جرح وتعديل، فينبغي أن يكون الجرح حينئذ مفسراً. وهل هو المقدم؟
أو الترجيح بالكثرة أو الأحفظ؟ فيه نزاع مشهور في أصول الفقه وفروعه وعلم
الحديث والصحيح أن الجرح مقدم مطلقا إذا كان مفسرا. والله أعلم.
“Adapun apabila saling bertentangan antara jarh dan ta’dil, maka ketika itu jarh mesti rinci. Dan apakah dia dikedepankan? Ataukah yang dikedepankan (jarh atau ta’dil yang) terbanyak atau yang lebih hapal?
Pada permasalahan ini terdapat perselisihan yang masyhur dalam usul
fiqih dan cabang-cabangnya dan dalam ilmu hadits. Dan yang benar adalah jarh lebih dikedepankan secara mutlak apabila rinci. ([11]) Wallahu a’lam.
Syaikh Muqbil rahimahullah berkata ketika mensyarah ucapan ini:
وهو كما عرفتم: أن الجرح المفسر مقدم على التعديل,
“Sebagaimana yang kalian ketahui bahwasanya jarh yang rinci dikedepankan daripada ta’dil. [lihat "As-Sair Al-Hatsits syarah ikhtishor 'ulumil hadits" hal. 185, cet. Darul Atsar]
Syaikh Robi’ waffaqohullah berkata ketika membantah Falih Al-Harbi sebagaimana dalam salah satu kasetnya:
فإذا جرح عالم بصير شخصًا بارك الله فيكم يجب قبول هذا الجرح فإذا عارضه عالم عدل متقن حينئذٍ يدرس يعني ما قاله الطرفان وينظر هذا الجرح وهذا التعديل فإن كان الجرح مفسرًا مبينًا قدم على التعديل ولو كثر عدد المعدلين إذا جاء عالم بجرح مفسر وخالفه عشرون خمسون عالمًا ما عندهم أدلة ما عندهم إلا حسن الظن والأخذ بالظاهر وعنده الأدلة على جرح هذا الرجل عنده الأدلة على جرح هذا الرجل فإنه يقدم الجرح لأن الجارح معه حجة والحجة هي المقدمة وأحيانًا تقدم الحجة ولو خالفها أهل الأرض,
Jika seorang ‘alim yang bashir (yang mengerti sebab-sebab jarh) telah menjarh seseorang -barokallohu fikum-
wajib bagi kita menerima jarh ini, kecuali jika ada seorang yang ‘alim
‘adil mutqin (kuat ‘ilmunya) menentang jarh tersebut, maka ketika itu
dipelajari apa yang diucapkan dari kedua belah pihak, dan dilihat jarh
ini dan ta’dil ini.
Apabila jarh tersebut mufassar (rinci) dan jelas, maka jarh itu diutamakan daripada ta’dil, walaupun jumlah yang menta’dil lebih banyak. Jika seorang ‘Ulama menjarh dengan jarh yang mufassar
sedang yang menyelisihinya dua puluh, lima puluh ‘ulama sedangkan
mereka tidak memiliki dalil (bukti) dan tiada yang mereka ketahui
kecuali husnuzh zhonn (prasangka baik) dan beramal dengan zhohir (yang nampak), ([12]) sedangkan yang menjarhnya memiliki bukti atas jarh orang ini, dia memiliki burhan atas jarhnya terhadap orang ini maka jarhnya dikedepankan. Karena yang menjarh memiliki hujjah, dan hujjah lebih diutamakan. Dan bahkan terkadang hujjah dikedepankan walaupun yang menyelisihinya adalah seluruh penghuni bumi. Seluruh penghuni bumi menyelisihinya, tapi bukti dan kebenaran bersamanya, al-jama’ah adalah siapa saja yang berada di atas al-haq walaupun dia sendiri,…[13][Lihat “Mukhtashor Bayan”].
Adapun Khaidir hadahullah lebih mengedepankan ta’dil daripada jarh mufassar (rinci) menyelisihi kaidah salaf yang telah lewat[14], wallahul musta’an
Di mana Khaidir berkata:
…kalau antum nggak tahu siapa Syaikhnya nggak usah tahu..tapi jelas
Syaikh (Robi katakan) ((كلهم سلفييون)) semuanya salafi, itu artinya
sebenarnya hukum ini artinya sudah ringan sebenarnya, …tapi trus
berlanjut bantah membantah…[15]
Padahal Syaikh Robi’ sendiri pernah berkata:
وعند اختلافهم في الجرح سواء كان الجرح بالتبديع أو غيره بوزن اختلافهم بميزان العدل.
فمن كان منهم معه الحجة والبرهان أُخذ بقوله، سواء كان متشدداً أو متوسطاً أو متساهلاً.
“Manakala
mereka berselisih (yaitu antar ulama jarh wat ta’dil) dalam menjarh
(menvonis) baik itu vonis bid’ah atau selainnya, ditimbang perselisihan
mereka dengan timbangan keadilan, barangsiapa di antara mereka yang memiliki hujjah dan bukti, itulah yang diambil ucapannya, sama saja dia (yang punya hujjah) itu mutasyaddid (punya syarat keras), atau mutawassith (punya syarat menengah), ataukah mutasahil (punya syarat mudah).” [“Nashihah ila Asy-Syaikh Falih…”].
Ataukah Khaidir termasuk dari salah seorang yang terkena ucapannya sendiri (tapi sebagian orang tidak mau tunduk di atas kaidah, dipenuhi dengan hawa, kebencian, pembelaan terhadap kelompok)?
Syaikh Yahya hafidzahullah termasuk Ulama Jarh wat Ta’dil dan Kibar di sisi Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dan Masyayikh ahlus sunnah di Yaman dan selain Mereka
Berkata Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah:
(والكلام في الرواة يحتاج إلى ورع تام وبراءة من الهوى والميل وخبرة كاملة بالحديث وعلله ورجاله).
“Berbicara
tentang para perawi itu membutuhkan sifat waro’ yang sempurna, jauh
dari hawa nafsu dan pilih kasih, serta memiliki keahlian sempurna
tentang ilmu hadits, penyakit-penyakit yang ada pada hadits, dan para
tokoh hadits.” [“Al-Muwqizhoh”, hal. 39 cet.Darul Atsar].
Jadi sifat-sifat seorang penjarh yang teranggap adalah:
- waro’ yang sempurna
- jauh dari hawa nafsu dan pilih kasih
- Punya keahlian yang sempurna
Dan sifat-sifat tersebut didapati pada Syaikh kami Yahya Al-Hajuri hafidzahullah dengan persaksian ulama:
Imam Al-Wadi’i rahimahullah berkata pada muqoddimah kitab Syaikh Yahya “Ahkam Al-Jum’ah wa bida’iha”:
(فقد
اطلعت على كتاب الجمعة للشيخ يحيى بن علي الحجوري فوجدته كتابًا عظيمًا
فيه فوائد تشد لها الرحال مع الحكم على كل حديث بما يستحقه واستيعاب
الموضوع فهو كتاب كافٍ وافٍ في موضوعه كيف لا يكون كذلك والشيخ يحيى حفظه الله في غاية من التحري والتقى والزهد والورع وخشية الله وهو قوال بالحق لا يخاف في الله لومة لائم).
“Saya
telah baca kitab “Al-Jum’ah” karya Syaikh Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri saya
dapati kitab ini adalah kitab yang agung terdapat padanya faidah-faidah
yang bermanfaat disertai dengan hukum terhadap setiap hadits sesuai dengan haknya
dan penyempurnaan pokok pembahasan, maka kitab ini adalah kitab yang
cukup lengkap pada pembahasannya bagaimana tidak demikian sedangkan
Syaikh Yahya hafidzahullah pada puncak kehati-hatian dalam menentukan pilihan, dan ketaqwaan, zuhud, waro’, dan khosyyah (takut yang disertai dengan pengagungan kepada Allah ta’ala
–pent), dan beliau adalah orang yang sangat lantang dalam mengemukakan
kebenaran tidak takut karena Allah celaan orang yang mencela.”
Dan beliau berkata pada muqoddimah kitab Syaikh Yahya “Ahkam At-Tayammum”:
(فقد اطلعت على ما كتبه الشيخ الفاضل يحيى بن علي الحجوري حفظه الله في التيمم فوجدته حفظه الله قد أودعه فوائد تشد لها الرحال من كلام على الحديث وعلى رجال السند واستنباط مسائل فقهية مما يدل على تبحره في علم الحديث والفقه.
“Saya telah baca kitab Syaikh Al-Fadhil Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri hafidzahullah
pada pembahasan tayammum, saya dapati beliau telah menaruh padanya
faidah-faidah yang bermanfaat dalam bentukpembahasan hadits, dan para
tokoh sanad, dan istinbath (pengambilan hukum) masalah-masalah fiqhiyyah yang menunjukkan keahlian beliau pada ilmu hadits dan fiqih.
Para masyayikh Yaman berkata pada hasil pertemuan mereka di Ma’bar tanggal 12 muharram 1428:
(…وشكروا الشيخ يحيى على ما يقوم به من خدمته ودفاعه عن الدعوة السلفية إذ أنه لا يتكلم بدافع الحسد ولا بدافع الرغبة في إسقاط أحد من أهل السنة وإنما بدافع الغيرة على السنة وأهلها…).
“…Dan
mereka (para masyayikh –pent) mensyukuri Syaikh Yahya dengan apa yang
beliau tunaikan dari pelayanan dan pembelaan terhadap dakwah salafiyyah,
di mana beliau tidak bicara karena unsur hasad dan tidak pula karena berhasrat untuk menjatuhkan seorangpun dari ahlus sunnah hanya saja beliau berbicara karena kecemburuan terhadap sunnah dan pengembannya…”
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Buro’i[16] berkata pada kaset “Jilsah Qushoy’ar” tanggal 27/7/1428 di darul Hadits mafraq Hubaiysh:
(أنا أقول: لا يمكن أن يتكلم الشيخ يحيى عن هوى لا يتكلم عن هوى هو أرفع من ذلك نحن نعلم أنه على تقوى الله عز وجل وأخونا في الله عز وجل ونحبه في الله…)
“Saya katakan: Tidak mungkin Syaikh Yahya berbicara dengan hawa nafsu, beliau tidak bicara berdasarkan hawa nafsu, beliau lebih mulia dari itu, kami tahu bahwa beliau berada pada ketaqwaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla, beliau saudara kami karena Allah ‘Azza wa Jalla dan kami mencintainya karena Allah.
Syaikh Robi’ sendiri pada bulan Ramadhan 1427 berkata:
(والذي ندين الله عز وجل به أن الشيخ الحجوري تقي ورع زاهد وأخذ يثني عليه وقد مسك الدعوة بيد من حديد ولا يصلح لها إلا هو وأمثاله…).
“Yang saya bertaqarrub kepada Allah dengannya bahwa Syaikh Yahya Al-Hajuri adalah orang yang bertaqwa, waro’, zahid
–kemudian beliau terus memuji Syaikh Yahya- dan beliau (yaitu Syaikh
Yahya) telah memegang dakwah dengan tangan besi dan tidak pantas
memegangnya (yaitu dakwah salafiyyah) kecuali dia dan semisalnya…”
[Lihat “Nashb Al-Manjaniq”].
Dengan sifat-sifat agung tadi yang ada pada Syaikh Yahya hafidzahullah Syaikh Al-Imam[17] –pun berkata:
(لا يصلح للجرح والتعديل في هذا العصر إلا الشيخ ربيع والشيخ يحيى).
“Tidak layak untuk jarh wat ta’dil pada zaman ini kecuali Syaikh Robi’ dan Syaikh Yahya”. [Lihat "Asy-Syaikh Yahya fi Suthur"].
Lihat juga pada pembahasan ini “Fitnah ‘Abdurrahman Al-’Adeni Aghrodh
Syakhsyiyyah am haqoiq waqi’iyyah” karya Abu Zaid Mu’afa bin ‘ali
Al-Mighlafi.
Adapun di sisi Khaidir hadahullah
Syaikh Yahya tidaklah demikian, dia secara tidak langsung mendustakan
para ulama besar tadi sebagaimana pada ucapannya berikut ini:
“Sebab sebagian orang sedang menyebutkan Syaikh Yahya sama dengan Syaikh Robi’ dalam jarh wat ta’dil salah besar“
Mungkin
masih ada yang berkata bahwa maksud Khaidir adalah dalam sisi
keutamaan, umur dan pengalaman misalkan, bukan berarti bahwa syaikh
yahya tidak termasuk ulama jarh wat ta’dil, tapi Syaikh Yahya adalah
ulama jarh wat ta’dil hanya saja tidak sederajat dalam sisi keutamaan
dengan Syaikh Robi’.
Kami katakan:
Khaidir tidak akan bisa lari lagi dari pendustaannya secara tidak
langsung terhadap ulama-ulama tadi dan anggapannya bahwa Syaikh Yahya
bukan ulama jarh wat ta’dil pada ucapannya:
“di hadapan kita Syaikh Yahya ulama, kita apa kita dibandingkan dengan beliau hafidzahullahu ta’ala, tapi di hadapan Syaikh Robi’, penegak sunnah, tetapi
dalam berbicara dalam masalah-masalah penting yang bisa mengguncangkan
keumuman dakwah ahlus sunnah wal jama’ah harus sampaikan kepada ulama“
Subhanallah awalnya Khaidir berkata bahwa di hadapan kita Syaikh Yahya ulama, kemudian di akhir ucapannya bahwa dalam masalah penting yang mengguncangkan keumuman dakwah ahlus sunnah harus sampaikan kepada ulama,
sebenarnya apa bedanya ulama yang pertama dengan ulama yang kedua wahai
Khaidir? Coba kamu jelaskan kepada kami sehingga makin jelas
kebodohanmu[18],
syarat atau kriteria mana yang kurang dari Syaikh Yahya? dan siapa kamu
sehingga bisa mengeluarkan Syaikh Yahya dari jajaran ulama jarh wat
ta’dil setelah pengakuan dan tazkiyyah para ulama kibar yang telah ana
sebutkan tadi?!
Ucapan
Khaidir ini menunjukkan bahwa Syaikh Yahya bukan ulama jarh wat ta’dil.
Siapa yang mengingkari ini berarti dia kalau bukan jahil berarti orang
bingung.
Apakah
ucapanmu dalam majelis ini sudah kamu sampaikan kepada Ulama wahai
Khaidir sebelum kamu ucapkan atau sebar?! Ulama besar mana yang
merekomendasi ucapanmu ini? Mengapa ucapan-ucapanmu dalam majlis banyak
menyelisihi ucapan-ucapan mereka? Ataukah kamu menganggap dirimu sudah
tidak perlu lagi menyampaikan kepada Ulama? Kalau Syaikh Yahya berbicara
pada masalah ini mesti menyampaikan kepada Ulama? Kalau begitu berarti
ucapanmu “di hadapan kita Syaikh Yahya ulama, kita apa kita dibandingkan
dengan beliau hafidzahullahu ta’ala” hanyalah kedustaan atau tipu daya belaka. ([19]) Hadakallah.
Manhaj Ulama kibar menerima kebenaran dari siapapun datangnya
Di antara Manhaj ulama kibar adalah menerima kebenaran dengan dalilnya dari siapapun datangnya. Allah ta’ala berkata:
{ اتَّبِعُوا مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا مِنْ دُونِهِ أَوْلِيَاءَ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ } [الأعراف: 3]
“Ikutilah
apa yang diturunkan kepada kalian dari Robb kalian dan janganlah kalian
mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya, sedikit dari kalian yang mau
mengambil pelajaran” [Al-A'raf: 3].
Dan berkata Allah ta’ala:
{ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ } [الحديد: 16]
“Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk hati mereka tunduk
menerima Al-Qur’an dan kebenaran yang telah turun (kepada mereka). [Al-Hadid: 16].
Al Hafidz ibnu Rajab rahimahullah berkata:
فلهذا
كان أئمة السلف المجمع على علمهم وفضلهم، يقبلون الحق ممن أورده عليهم وإن
كان صغيراً، ويوصون أصحابهم وأتباعهم بقبول الحق إذا ظهر في غير قولهم،
كما قال عمر في مهور النساء، وردت المرأة بقوله تعالى {وآتيتم إحداهن
قنطاراً}. فرجع عن قوله، وقال :” أصابت امرأة ورجل أخطأ “. ورُوِيَ عنه أنه
قال :” كل أحد أفقه من عمر “.
“Oleh karena itulah para imam salaf yang diakui keilmuan dan keutamaannya, mereka itu menerima al haq dari siapapun yang membawanya meskipun dari anak kecil,
dan mewasiatkan teman-teman dan pengikut-pengikut mereka agar menerima
al haq meskipun nampak pada selain ucapan mereka,… [“Al-Farq baina
An-Nashihati wat Ta'yir” hal.3].
Imam Asy-Syafi’I rahimahullah katakan:
“أجمع المسلمون على أن من استبانت له سنة عن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ؛ لم يَحِلَّ له أن يَدَعَهَا لقول أحد “
“Kaum Muslimin sepakat bahwa siapa yang jelas baginya sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak halal baginya untuk meninggalkannya dengan alasan ucapan seseorang.” ([20])
Adapun Khaidir hadahullah
zhahir kalamnya menunjukkan bahwa kebenaran itu baru diterima kalau
datang dari Syaikh Robi’ atau ulama kibar (besar) bukan ulama shigor
(kecil/muda) dan sebelum menerimanya mesti kembali kepada orang yang
tegak dakwah di tempat orang tersebut berada padanya, ini menyelisihi
manhaj salaf yang telah lewat tadi, entah manhaj dari mana khaidir bawa
ini, inna lillahi wa inna lillahi roji’un. ([21])
Di mana Khaidir
berkata: “…Melihat fitnah akhirnya dia menganggap dirinya sudah bisa
bersikap sudah bisa menentukan ini yang benar, ini yang tidak benar, tidak perlu lagi bertanya kepada siapa yang tegak dakwah di tempat itu…”
Kami tanya Khaidir, “Kalau salah seorang dari muridmu atau mantan
muridmu melihat atau mendengar kemungkaran seperti foto tanpa darurat,
atau mendengar seseorang berdusta, atau mengadu domba antar sesama ahlus
sunnah, atau dikabarkan kepadanya oleh orang yang tsiqoh
terpercaya (apalagi yang menyampaikan adalah seorang ulama) bahwa fulan
merampas mesjid ahlus sunnah, dan turun di tempat hizbiyyin, berteman
dan jalan bersama ahlul bida’ (sebagaimana yang dilakukan oleh
‘Abdurrahman Al-Mar’i CS), atau menaruh uang di BANK ribawiyyah tanpa
darurat atau selainnya dari kemungkaran apakah boleh baginya mengingkari
dan mengatakan perkara tersebut tidak benar meskipun dia bukanlah
seorang ustadz atau ulama? Ataukah mesti tanya dulu kepada kamu atau
adikmu baru boleh diingkari? Mau kamu kemanakan ucapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berkata:
من رأى منكم منكرا فليغيره بيده فإن لم يستطع فبلسانه ومن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان
“Siapa
di antara kalian yang melihat kemungkaran maka hendaknya ia ubah
kemungkaran itu dengan tangannya, kalau ia tidak mampu maka dengan
lisannya, kalau tidak mampu (juga dengan lisannya) maka (dia benci dan
ingkari) dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemah keimanan”. [HR. Muslim, dari hadits Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu].?
Apakah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suruh mereka tanya dulu kepada yang tegak dakwah di tempat itu baru boleh diingkari?
“Bagaimana kalau qoddarallah
yang tegak dakwah di tempat itu terfitnah, atau telah termakan syubhat
dan mengikuti hawa nafsunya melakukan penyelisihan yang dalil tunjukkan
bahwa perbuatannya itu adalah perkara haram, seperti foto demi
mendirikan Yayasan misalnya, atau ngemis atas nama dakwah (proposal)
sebagaimana yang kamu terjatuh padanya[22],
apakah orang yang lama dakwah di tempat itu akan menyuruhnya menerima
kebenaran itu atau malah memberinya syubhat dan pengkaburan dalam
masalah tersebut sebagaimana yang telah dilakukan oleh adikmu
Dzulqornain dalam masalah Yayasan?”[23]
“Bagaimana kalau kebenaran itu datang dari seorang ulama yang diakui keilmuannya oleh Syaikh Muqbil rahimahullah
dan dijuluki oleh Syaikh Robi’ sebagai orang yang tegak dalam
menegakkan sunnah, apakah mesti tanya kamu dulu atau Dzulqornain dulu
baru boleh diterima kebenaran yang dia bawa dan diamalkan? Terlebih lagi
‘alim tersebut memaparkan dalil-dalil akan kebenaran yang ia bawa atau
ucapkan?”
Atau
apakah di sisimu mesti tanya Syaikh Robi’ dulu, kalau Syaikh Robi’
setuju baru diterima kalau tidak setuju maka tidak boleh diterima? Kalau
kamu jawab iya, mesti tanya Syaikh Robi’ dulu berarti kamu memang Muqollid (pembebek) tulen, yang ghuluw dan fanatik terhadap Syaikh Robi’. ([24])
Ulama Kibar Mencela Taqlid
Adapun Khaidir Menyeru kepadanya
Di antara manhaj Ulama adalah mencela dan mentahdzir manusia dari taqlid. Allah ta’ala menyebutkan taqlid orang-orang kafir terhadap bapak-bapak dan pembesar-pembesar mereka itulah yang menyebabkan mereka tersesat:
{
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا
أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا (66) وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا
أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا (67)
رَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا
كَبِيرًا } [الأحزاب: 66 - 68]
“pada
hari (kiamat) ketika muka mereka (orang-orang kafir) dibolak-balikan
dalam neraka, mereka berkata: “Alangkah baiknya, andaikata kami dulu
taat kepada Allah dan taat kepada Rasul”. Mereka berkata;:”Ya Robb Kami,
sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan
pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang
benar). Ya Robb Kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan
kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. [Al-Ahzab: 66-68].
{
وَلَقَدْ آتَيْنَا إِبْرَاهِيمَ رُشْدَهُ مِنْ قَبْلُ وَكُنَّا بِهِ
عَالِمِينَ (51) إِذْ قَالَ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ مَا هَذِهِ التَّمَاثِيلُ
الَّتِي أَنْتُمْ لَهَا عَاكِفُونَ (52) قَالُوا وَجَدْنَا آبَاءَنَا
لَهَا عَابِدِينَ (53) قَالَ لَقَدْ كُنْتُمْ أَنْتُمْ وَآبَاؤُكُمْ فِي
ضَلَالٍ مُبِينٍ } [الأنبياء: 51 - 54]
“Sesungguhnya
Kami telah anugerahkan kepada Ibrahim hidayah kebenaran sebelumnya, dan
adalah Kami mengetahuinya. Manakala Ibrahim berkata kepada bapaknya dan
kaumnya: “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah
kepadanya?” Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami
menyembahnya” Ibrahim berkata: “Sesungguhnya kalian dan bapak-bapak
kalian berada dalam kesesatan yang nyata”. [Al-Anbiya: 51-54].
Imam ibnu ‘Abdil Bar rahimahullah berkata:
وقال
الله عز وجل عائبا لأهل الكفر وذاما لهم : { ما هذه التماثيل التي أنتم
لها عاكفون قالوا وجدنا آباءنا لها عابدين } وقال: { إنا أطعنا سادتنا
وكبراءنا فأضلونا السبيلا } ومثل هذا في القرآن كثير من ذم تقليد الآباء
والرؤساء، قال أبو عمر: وقد احتج العلماء بهذه الآيات في إبطال التقليد ولم
يمنعهم كفر أؤلئك من جهة الاحتجاج بها؛ لأن التشبيه لم يقع من جهة كفر
أحدهما وإيمان الآخر وإنما وقع التشبيه بين التقليدين بغير حجة للمقلد كما
لو قلد رجل فكفر وقلد آخر فأذنب وقلد آخر في مسألة دنياه فأخطأ وجهها، كان
كل واحد ملوما على التقليد بغير حجة؛ لأن كل ذلك تقليد يشبه بعضه بعضا وإن
اختلفت الآثام فيه (“جامع بيان العلم وفضله” ج2 / ص 160).
“Allah
‘Azza wa Jalla menyebutkan sebagai cercaan dan celaan terhadap
orang-orang kafir: “Patung-patung apakah ini yang kalian tekun beribadah
kepadanya?” Mereka menjawab: “Kami mendapati bapak-bapak kami menyembahnya” dan berkata Allah ta’ala: “Sesungguhnya
kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu
mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Dan ayat-ayat
yang semacam ini dalam al-qur’an banyak dalam bentuk celaan taqlid
terhadap bapak-bapak dan pemimpin-pemimpin, Berkata Abu ‘Umar: Ulama telah berhujat dengan ayat-ayat ini dalam membatalkan taqlid
dan tidak menghalangi mereka keadaan mereka yang kafir untuk berhujjah
dengan ayat-ayat tadi, karena kesamaan tidak terjadi dari sisi kekufuran
salah satu dari keduanya dan keimanan selainnya, tapi kesamaan dalam
bertaqlid dari keduanya (orang kafir dengan pembesarnya dan seorang
muslim yang taqlid dengan para imam -pent) tanpa hujjah di sisi orang
yang bertaqlid, sebagaimana kalau seseorang mentaqlidi (pembesar yang
kafir) maka diapun jadi orang kafir, dan orang lain bertaqlid (pembesar
yang berlaku dosa –pent) akhirnya diapun jatuh kepada perbuatan dosa,
orang lain bertaqlid dalam masalah dunia diapun salah arahnya, adalah
tiap-tiap orang yang bertaqlid itu tercela karena taqlidnya tanpa
hujjah, karena semua taqlid tersebut menyerupai satu sama lain meskipun
dosa-dosa mereka berbeda dalam taqlidnya. [“Jami' Bayan Al-'Ilm wa
Fadhlih” 2/160].
Imam Ahmad rahimahullah berkata:
” لا تقلدني ، ولا تقلد مالكاً ، ولا الشافعي ، ولا الأوزاعي ، ولا الثوري ، وخذ من حيث أخذوا “
“Jangan kalian bertaqlid kepadaku,
dan jangan taqlid terhadap Malik, jangan pula Syafi’i, jangan Awza’i,
jangan pula Ats-Tsauri, ambillah dari mana mereka ambil (maksudnya kitab
dan sunnah –pent)” ([25])
Imam Asy-syafi’i rahimahullah berkata:
” كل ما قلت ؛ فكان عن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خلاف قولي مما يصح ؛ فحديث النبي أولى ، فلا تقلدوني “
“Seluruh yang kuucapkan, kalau ternyata menyelisihi ucapanku hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka hadits Nabi lebih utama, maka janganlah kalian bertaqlid kepadaku“([26])
Imam Malik rahimahullah berkata:
” إنما أنا بشر أخطئ وأصيب ، فانظروا في رأيي ؛ فكل ما وافق الكتاب والسنة ؛ فخذوه ، وكل ما لم يوافق الكتاب والسنة ؛ فاتركوه “
“Sesungguhnya
saya hanyalah manusia biasa bisa salah dan benar, maka lihatlah
pendapatku, setiap yang mencocoki kitab dan sunnah ambillah, dan setiap
yang tidak mencocoki kitab dan sunnah tinggalkanlah”.([27])
Dan berkata rahimahullah:
”
ليس أحد – بعد النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – إلا ويؤخذ من
قوله ويترك ؛ إلا النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ “
“Tidak seorangpun setelah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melainkan di ambil dan ditinggalkan ucapannya, kecuali Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” ([28])
Abu Hanifah rahimahullah berkata:
” لا يحل لأحد أن يأخذ بقولنا ؛ ما لم يعلم من أين أخذناه “
“Tidak halal bagi seseorang mengambil (bertaqlid) ucapan kami, selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya.” ([29])
Imam Ath-Thohawi rahimahullah berkata:
” لا يقلد إلا عصبي أو غبي “
“Tidak
ada yang bertaqlid kecuali orang fanatik atau orang tolol.” [lihat
atsar-atsar yang telah lewat di dalam kitab Sifat Shalat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karya Syaikh Al-Albani rahimahullah, hal: 45-55].
Dan masih banyak lagi ucapan ulama kibar mengenai celaan mereka terhadap muqollid,
Syaikh Muqbil rahimahullah berkata:
لا يقلدني إلا ساقط
“Tidak bertaqlid kepadaku kecuali orang rendah”.
Adapun Khaidir hadahullah
kalamnya dalam majelis mengisyaratkan dan menyeru untuk bertaqlid
kepada Syaikh Robi’ tanpa mengemukakan hujjah akan kebenaran pendapat
Syaikh Robi’, di mana definis taqlid adalah: Menerima atau mengikuti
orang yang bukan hujjah tanpa hujjah.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
أما
التقليد الباطل المذموم فهو : قبول قول الغير بلا حجة قال الله تعالى :
{وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنزَلَ اللّهُ قَالُواْ بَلْ
نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ
لاَ يَعْقِلُونَ شَيْئاً وَلاَ يَهْتَدُونَ } [ في البقرة : 170 ]…
“Adapun taqlid yang batil dan tercela adalah: menerima ucapan orang lain tanpa hujjah, Allah ta’ala
berkata: “Apabila dikatakan kepada mereka ikutilah apa yang Allah
turunkan, mereka menyela bahkan kami akan ikuti apa yang telah kami
dapati bapak-bapak kami atasnya, apakah mereka tetap ikuti meskipun
nenek moyang mereka tidak mengetahui sesuatupun dan tidak pula mendapat
petunjuk?” [Al-Baqarah: 170]…. [“Majmu' Al-Fatawa” jilid 20, hal, 15].
telah lewat salah satu perkataannya dia berkata:
…tapi jelas Syaikh (Robi
katakan) ((كلهم سلفييون)) semuanya salafi, itu artinya sebenarnya hukum
ini artinya sudah ringan sebenarnya, …tapi trus berlanjut bantah
membantah…[30]
Khaidir juga berkata:
Syaikh Robi’ akui kalau memang ini seperti ini maka.. beliau kasi hukum bahaya saya ndak usah saya sebutkan hukumnya apa, apa yang disampaikan juga ndak perlu saya sebutkan, yang jelas hukumnya Syaikh Robi’ sabar….
Khaidir berkata:
Sekarang Syaikh Robi’ sudah
membuatkan keterangan baru, jadi langsung didengar oleh ustadz Dzul,
ustadz Abdul Barr, dan beberapa ustadz lainnya yang menziarahi Syaikh
Robi’, Syaikh Robi berkomentar bahwa…dari kelompok dari sisi Syaikh
Yahya terlihat ghuluw di dalamnya….
Kami katakan : Syaikh Robi’ pernah berkata kepada Abul Hasan manakala
dia berdalih dengan perkataan ulama untuk mendukung pendapatnya yang
menyelisihi kebenaran:
سمّ
لنا هؤلاء العلماء واذكر لنا أدلتهم من الكتاب والسنة ، وإلا فأنت من
المقلدين العميان المعرضين عن أصل أهل السنة ، وأدلتهم الكثيرة من الكتاب
والسنة والتي هي في غاية القوة والوضوح .وليس التقليد الأعمى والإعراض عن
النصوص بغريب منك ، فهذا منك كثير فحيث تتعارض نصوص الكتاب والسنة مع آراء
الرجال تقدم آراء الرجال إذا وافقت هواك وتعرض عن النصوص،
“Berikan nama-nama ulama tersebut dan
sebutkan kepada kami dalil-dalil mereka dari kitab dan sunnah, kalau
tidak berarti kamu termasuk dari para muqollid buta, yang berpaling dari
ushul ahlis sunnah, dan dalil-dalil mereka banyak dari kitab
dan sunnah yang kuat dan berada pada puncak kejelasan. Dan tidaklah
asing darimu taqlid buta dan berpaling dari nash-nash, ini sering kamu
lakukan manakala saling bertentangan antara nash-nash kitab dan
sunnah dengan pendapat-pendapat para tokoh kamu justru mengedepankan
pendapat para tokoh apabila mencocoki hawa nafsumu dan kamu berpaling
dari nash-nash…. [“Munaqosyah Abil Hasan”/”Majmu’ur Rudud” hal. 242].
Demikian juga kami katakan kepada Khaidir hadahullah:
sebutkan kepada kami bukti-bukti, hujjah-hujjah dan dalil-dalil beliau
dari kitab dan sunnah, kalau tidak berarti kamu termasuk dari para
muqollid buta, yang berpaling dari ushul ahlis sunnah.
Membongkar Syubhat Khaidir dalam bertaqlid
Dan penjelasan akan jauhnya pemahaman khaidir dari pemahaman ulama kibar ahlis sunnah
Melirik kembali ucapan-ucapan Khaidir hadahullah pada majlisnya kami tidak mendapati satu dalilpun dari al-qur’an dan sunnah kecuali satu hadits yang berbunyi:
البركة مع أكابركم
“Berkah itu bersama dengan orang-orang besarnya kalian”
Kemudian
dia membawa hadits ini kepada pemahaman supaya bertaqlid dengan Syaikh
Robi’ dengan berdalih bahwa beliau adalah orang besar dalam jarh wat ta’dil,
Di mana dia berkata setelah
menyebutkan hadits tadi: “dan orang besar dalam jarh wat ta’dil adalah
Syaikh Robi’, dan memang beliau mempunyai kedudukan dalam dua kelompok
yang berselisih di sini, dalam dua kelompok yang berselisih di sini
syaikh Robi’ (…-tidak jelas-…) ditunggu apa komentar Syaikh Robi’,
Syaikh Robi’ berkomentar كلهم سلفيون…”
Al-Munawi rahimahullah berkata pada syarah hadits ini no. 3205:
3205-
( البركة مع أكابركم ) المجربين للأمور المحافظين على تكثير الأجور
فجالسوهم لتقتدوا برأيهم وتهتدوا بهديهم أو المراد من له منصب العلم وإن
صغر سنه فيجب إجلالهم حفظا لحرمة ما منحهم الحق سبحانه وتعالى وقال شارح
الشهاب : هذا حث على طلب البركة في الأمور والتبحبح في الحاجات بمراجعة
الأكابر لما خصوا به من سبق الوجود وتجربة الأمور وسالف عبادة المعبود قال
تعالى { قال كبيرهم } وكان في يد المصطفى صلى الله عليه و سلم سواك فأراد
أن يعطيه بعض من حضر فقال جبريل عليه السلام : كبر كبر فأعطاه الأكبر وقد
يكون الكبير في العلم أو الدين فيقدم على من هو أسن منه
“(Berkah itu bersama dengan orang-orang besarnya kalian) Orang-orang
yang berpengalaman yang terus melakukan amalan-amalan berpahala besar
maka bermujalasahlah dengan mereka supaya kalian bisa menjadikan
pendapat mereka sebagai panutan dan menjadikan mereka sebagai petunjuk.
Atau maksudnya: orang yang punya bagian ilmu meskipun kecil umurnya maka wajib menghormati mereka sebagai penjagaan terhadap kemuliaan al-haq (kebenaran) yang Allah subhanahu wa ta’ala anugrahkan kepada mereka. Dan
berkata pensyarah “Syihab”: ini anjuran untuk mencari berkah pada
setiap perkara dan mengambil kemudahan dalam kebutuhan-kebutuhan dengan
merujuk kepada orang-orang besar dikarenakan mereka punya kekhususan
yang berupa: lebih dahulu ada, dan pengalaman dan lebih dulu menyembah
yang (berhak) disembah (Allah) Allah ta’ala berkata “Para pembesar mereka berkata’ dan pada tangan Musthofa (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) siwak kemudian beliau mau memberi sebagian orang yang hadir maka Jibril ‘alaihi wa sallam: yang besar, yang besar maka beliau memberikan kepada orang yang besar, dan bisa jadi ‘besar’ dari sisi keilmuan dan agama maka dia lebih dikedepankan daripada orang yang umurnya lebih tua darinya” [“Al-Faidh Al-Qodir” 5/2626 cet. Nizzar Mushthofa Al-Baaz].
Tentunya makna ucapan Al-Munawi rahimahullah
“Menjadikan pendapat mereka sebagai panutan dan menjadikan mereka
sebagai petunjuk” bukan berarti mentaqlidi mereka di segala ucapannya,
tapi untuk istifadah (mengambil faidah) dari pemahaman mereka,
sebagaimana telah lewat ucapan para imam di mana mereka melarang
mentaqlidi mereka pada setiap ucapannya, apa yang mencocoki kitab dan
sunnah di ambil dan mana yang menyelisihi kitab dan sunnah ditolak, dan
bukan pula maksudnya mentaqlidi mereka pada perkara-perkara yang cocok
dengan hawa nafsu.
Syaikh Muqbil rahimahullah berkata:
ولسنا ندعوه إلى تقليد هؤلاء الأئمة رحمهم الله، ولكن إلى الاستفادة من فهمهم، وإلا فالتقليد في الدين محرم،
“Dan kami tidaklah menyerunya untuk bertaqlid kepada mereka para imam rahimahumullah, AKAN TETAPI UNTUK ISTIFADAH (MENGAMBIL FAIDAH) DARI PEMAHAMAN MEREKA, karena taqlid dalam agama itu haram,…” [Rudud Ahlul 'Ilm fi Ath-tho'inina fi hadits ash-sihr… hal. 46 cet. Muassasah ar-royyan]
Allah ta’ala berkata:
{
الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ
الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ } [الزمر: 18]
“yaitu
Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti ucapan yang
paling baik, mereka itulah orang-orang yang Allah beri hidayah dan
mereka itulah orang-orang yang berakal.” [Az-Zumar: 18].
Dan berkata:
{
أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَّنْ لَا
يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ } [يونس: 35]
“Apakah
siapa yang menunjuki kepada kebenaran lebih patut untuk diikuti ataukah
siapa yang tidak memberi petunjuk kecuali kalau ditunjuki? Ada apa
dengan kalian? Bagaimanakah kalian berhukum?” [Yunus: 35].
Dan berkata:
{وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا } [الأحزاب: 36]
“Tidaklah
patut bagi orang-orang mukmin dari kalangan laki-laki dan perempuan,
apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (lain) dari urusan mereka. dan barangsiapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, kesesatan
yang nyata.” [Al-Ahzab 36].
Dan
masih banyak lagi dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah akan haramnya
bertaqlid tanpa hujjah sampai-sampai Ulama menghukumi bahwasanya taqlid
itu sendiri adalah bid’ah, di antaranya ibnul Qoyyim rahimahullah beliau berkata tentang taqlid:
وإنما حدثت هذه البدعة في القرن الرابع
“Bida’ah ini (maksudnya Taqlid) baru muncul di abad ke empat.” [“I'lamu Al-Muwaqqi'in” 2/453 cet, Darul Atsar]
Demikian sebagaimana telah lewat Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang haramnya bertaqlid:
ولسنا ندعوه إلى تقليد هؤلاء الأئمة رحمهم الله، ولكن إلى الاستفادة من فهمهم، وإلا فالتقليد في الدين محرم،
“Dan kami tidaklah menyerunya untuk bertaqlid kepada mereka para imam rahimahumullah, akan tetapi untuk istifadah (mengambil faidah) dari pemahaman mereka, karena taqlid dalam agama itu haram,…” [“Rudud Ahlul 'Ilm fi Aththo'inina fi hadits ash-sihr…” hal. 46 cet. Muassasar ar-royyan]
Dan
kita diperintahkan kalau tidak mengetahui untuk bertanya kepada ulama
ahlu adz-dzikr tentang adz-dzikr itu sendiri bukan untuk bertaqlid
terhadap pendapat mereka, Imam ibnu Al-Qoyyim rahimahullah berkata:
فإن
الله سبحانه أمر بسؤال أهل الذكر والذكر هو القرآن والحديث الذي أمر الله
نساء نبيه أن يذكرنه بقوله: واذكرن ما يتلى في بيوتكن من آيات الله
والحكمة. فهذا هو الذكر الذي أمرنا الله باتباعه وأمر من لا علم عنده أن
يسأل أهله وهذا هو الواجب على كل أحد أن يسأل أهل العلم بالذكر الذي أنزله
على رسوله ليخبروه به فإذا أخبروه به لم يسعه غير اتباعه وهذا كان شأن أئمة
أهل العلم لم يكن لهم مقلد معين يتبعونه في كل ما قال فكان عبد الله بن
عباس يسأل الصحابة عما قاله رسول الله صلى الله عليه وسلم – أو فعله أو سنه
لا يسألهم عن غير ذلك وكذلك الصحابة كانوا يسألون أمهات المؤمنين خصوصا
عائشة عن فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم – في بيته وكذلك التابعون كانوا
يسألون الصحابة عن شأن نبيهم فقط وكذلك أئمة الفقه كما قال الشافعي لأحمد
يا أبا عبد الله أنت أعلم بالحديث مني فإذا صح الحديث فأعلمني حتى أذهب
إليه شاميا كان أو كوفيا أو بصريا ولم يكن أحد من أهل العلم قط يسأل عن رأي
رجل بعينه ومذهبه فيأخذ به وحده ويخالف له ما سواه
“Sesungguhnya Allah subhanahu memerintahkan
untuk bertanya kepada ahludz dzikr dan adz-dzikr itu adalah al-qur’an
dan hadits yang Allah perintahkan kepada istri-istri Nabi-Nya untuk
mengingatnya dalam firman-Nya:“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah)”
jadi inilah makna adz-dzikr yang Allah perintahkan untuk mengikutinya
dan memerintahkan siapa yang tidak punya ilmu untuk bertanya ahlinya dan
inilah yang wajib bagi setiap orang untuk bertanya ahlul ‘ilm
tentang adz-dzikr yang Allah turunkan kepada RasulNya supaya dia (ahlul
‘ilm) mengabarkan kepadanya adz-dzikr tadi, apabila dia (ahlu al-’ilm) sudah mengabarkan kepada penanya tadi tentangnya (yaitu al-qur’an dan sunnah) maka tidak boleh baginya untuk tidak mengikutinya, dan inilah dahulu keadaan para imam ahlul ‘ilm, mereka tidak pernah menjadi muqollid (pembebek) terhadap orang tertentu, yang mereka ikuti setiap apa yang ia katakan. ‘Abdullah bin ‘Abbas bertanya kepada sahabat (lain) tentang apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
katakan atau lakukan atau sunnah beliau, dia (ibnu ‘Abbas) tidak tanya
mereka selain itu. Demikian juga para sahabat mereka bertanya para
ummahat al-mukminin (istri-istri Nabi) terutama ‘Aisyah tentang prilaku
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rumahnya
demikian juga generasi at-tabi’un mereka bertanya kepada sahabat tentang
Nabi mereka saja, demikian juga para imam fiqih sebagaimana
Asy-Syafi’iy berkata kepada Ahmad: “Wahai Abu ‘Abdillah (kunyah Imam
Ahmad) engkau lebih tahu tentang hadits daripada aku, apabila suatu
hadits itu shahih beritahukanlah kepadaku supaya saya pergi kepadanya
(meriwayatkan hadits tersebut dari guru imam Ahmad langsung -pent) baik
dia itu orang Syam, ataukah kufah, ataukah orang bashroh,” dan
tidak seorangpun dari ahlul ‘ilm menanyakan pendapat orang tertentu dan
madzhabnya, lalu mengambil pendapat atau madzhab itu saja dan
menyelisihi selain pendapat dan madzhab orang itu. [“I'lamu Al-Muwaqqi'in” 2/471 cet, Darul Atsar].
Al-Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang fawaid hadits no.1387 dari Shahih Al-Bukhari:
وطلب الموافقة فيما وقع للأكابر تبركا بذلك
“Dan berusaha mencocoki apa yang terjadi terhadap orang-orang besar supaya mendapatkan berkah dengan kecocokan tadi.”
Maka Syaikh bin Bazz rahimahullah memberi catatan kaki terhadap ucapan ibnu Hajar di atas, sebagai berikut:
هذا
فيه نظر, والصواب أن ذلك غير مشروع إلا بالنسبة إلى النبي صلى الله عليه
وسلم, لأن الله سبحانه شرع لنا التأسي به, وأما غيره فيخطئ ويصيب وسبق في
هذا المعنى حواش في المجلد الأول والثاني وأوائل هذا الجزء فراجعها إن شئت
والله الموفق.
“Ucapan ini perlu diteliti lagi (tidak benar -pent), yang benar
bahwasanya perkara itu tidaklah disyari’atkan (mencocoki orang-orang
besar –pent) kecuali berusaha mencocoki Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Allah subhanahu mensyari’atkan untuk kita supaya menjadikan beliau sebagai panutan, adapun selain beliau maka dia bisa salah dan bisa pula benar,
dan telah lewat yang semakna dengan ini pada catatan kaki pada jilid
pertama dan kedua serta awal-awal jilid ini (ketiga), lihatlah kembali
kalau mau, wallahu al-muwaffiq.” [Lihat “Fathul Bari” jilid 3, hal: 322, cet, Darus Salam].
Dan kami tidak mengetahui dalam ilmu musthalah hadits
satu ulama kibarpun dari kalangan ahlul hadits yang teranggap kalau
terkumpul dalam seseorang jarh dan ta’dil -sebagaimana halnya pada
‘Abdurrahman Al-Mar’i- dia mengembalikan kepada siapa yang paling kibar
di antara mereka dalam jarh wat ta’dil kemudian berdalih dengan hadits “berkah bersama orang besar kalian” sebagaimana yang khaidir lakukan ini, bahkan mereka lebih mengedepankan jarh mufassar daripada ta’dil karena yang menjarh punya pengetahuan lebih yang tidak diketahui oleh yang menta’dil,
Al-Hafidz ibnu Sholah rahimahullah berkata:
إذا
اجتمع في شخص جرح وتعديل : فالجرح مقدم لأن المعدل يخبر عما ظهر من حاله
والجارح يخبر عن باطن خفي على المعدل . فإن كان عدد المعدلين أكثر : فقد
قيل : التعديل أولى . والصحيح – والذي عليه الجمهور – أن الجرح أولى لما
ذكرناه والله أعلم
“Apabila terkumpul dalam seseorang jarh dan ta’dil, maka jarh dikedepankan, karena
yang menta’dil mengabarkan tentang apa yang nampak dari halnya dan yang
menjarh mengabarkan tentang apa yang batin tidak diketahui oleh orang
yang menta’dil. Apabila yang menta’dil lebih banyak jumlahnya: ada yang
bilang: Ta’dil lebih utama. Yang benar –dan yang dirajihkan oleh jumhur- yang menjarh lebih utama (lebih dikedepankan) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi, wallahu a’lam.” [“Muqoddimah Ibnu sholah”, hal 70, cet. Muassasah Ar-Risallah].
Asy-Syuyuthi rahimahullah berkata:
(
وإذا اجتمع فيه ) أي الراوي ( جرح ) مفسر ( وتعديل فالجرح مقدم ) ولو زاد
عدد المعدل هذا هو الأصح عند الفقهاء والأصوليين ونقله الخطيب عن جمهور
العلماء لأن مع الجارح زيادة علم لم يطلع عليها المعدل ولأنه مصدق للمعدل
فيما أخبر به عن ظاهر حاله إلا أنه يخبر عن أمر باطن خفي عنه
“(Apabila
terkumpul padanya) yaitu seorang perawi (jarh) yang rinci (dan ta’dil
maka jarh dikedepankan) meskipun lebih banyak jumlah yang menta’dil, ini
lebih benar di sisi fuqoha dan usuliyyin dan dinukil oleh Al-Khathib
dari Jumhur ‘ulama karena bersama penjarh punya tambahan ilmu
yang tidak diketahui oleh yang menta’dil dan karena (yang menjarh)
membenarkan apa yang dikabarkan oleh yang menta’dil tentang yang nampak
dari perihalnya hanya saja yang menjarh mengabarkan tentang perkara yang
batin yang tidak diketahui oleh penta’dil.” [“Tadribu Ar-Rowi” 1/309]
Al-Hafidz Ibni Hajar rahimahullah berkata:
والجَرْحُ
مُقَدَّمٌ عَلى التَّعْديلِ، وأَطلقَ ذلك جماعةٌ ، ولكنَّ محلَّهُ إِن
صَدَرَ مُبَيَّناً مِن عَارِفٍ بأَسْبَابِهِ؛ لأنَّه إِنْ كانَ غيرَ
مفسَّرٍ لم يَقْدَحْ فيمَنْ ثبَتَتْ عدالَتُه. وإِنْ صدَرَ مِن غيرِ عارفٍ
بالأسبابِ لم يُعْتَبَرْ بهِ أيضاً.
“Dan jarh lebih dikedepankan daripada ta’dil, sekelompok ulama mengithlakkan hal tadi, akan tetapi tempatnya apabila jarh itu muncul dengan perinciannya dari orang yang tahu sebab-sebab jarh; karena apabila tidak rinci tidak membahayakan orang yang telah tetap adalah-nya.
Dan apabila (jarh) muncul dari orang yang tidak tahu sebab-sebab (jarh)
juga tidak dianggap.” [Lihat “Syarh Nuzhatun Nadzor” syarh Syaikh
Al-'Utsaimin, hal: 343, cet. Darul ibnu Al-Jauzi].
Tidak diragukan lagi bahwa Imam Ahmad adalah imam ahlus sunnah di
zamannya, dan beliau termasuk dari muhaddits yang tidak meriwayatkan
kecuali dari orang-orang tsiqoh, namun manakala beliau meriwayatkan dari
‘Amir bin Sholeh Az-Zubairi yang mana dia itu haditsnya ditinggalkan,
tidak seorangpun dari ulama kibar yang mengatakan -sebagaimana ucapan
Khaidir- bahwa berkah bersama orang besar kalian dan orang besar dalam
jarh wat ta’dil adalah imam Ahmad dan beliau meriwayatkan darinya bahkan
berkata dia (yaitu ‘Amir bin Sholeh) itu tsiqoh dia bukanlah pendusta[31],
bahkan para ulama lebih mengedepankan jarh yang rinci daripada ta’dil
imam Ahmad tadi, dan menyelisihi Imam Ahmad pada perkara ini ada yang
mengatakan bahwa ‘Amir itu pendusta ada yang mengatakan bahwa dia itu
orang buruk musuh Allah ada yang mengatakan matruk silahkan lihat biografinya di “Tahdzib Al-Kamal”; berkata Syaikh Muqbil rahimahullah:
الإمام
أحمد أيضًا من الذين لا يحدثون إلا عن ثقات، روى عن عامر بن صالح الزبيري
حتى قال الإمام يحيى بن معين عند أن بلغه هذا: جنّ أحمد.
Imam
Ahmad juga termasuk dari orang-orang yang tidak meriwayatkan kecuali
dari orang-orang tsiqoh, beliau meriwayatkan dari ‘Amir bin Sholeh
Az-Zubairi hingga Imam Yahya bin Ma’in berkata ketika sampai kepadanya
perkara ini: Gila Ahmad. [“Al-Muqtarih”, hal 39].
Berkata Imam Al-Mizzi rahimahullah:
و قال أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز ، عن يحيى بن معين : كذاب خبيث عدو الله،…
“Dan
berkata (tentang ‘Amir) Ahmad bin Muhammad bin Muhriz, dari Yahya bin
Ma’in: (‘Amir bin Sholeh) pendusta, buruk, musuh Allah,…”
و قال أبو داود : قيل ليحيى بن معين : إن أحمد بن حنبل حدث عن عامر بن صالح ؟
فقال : ما له ، جن ؟ ! .
“Berkata Abu Daud: Dikatakan kepada Yahya
bin Ma’in: Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari ‘Amir bin Sholeh? Maka
Yahya bin Ma’in jawab: Ada ada dengannya (Imam Ahmad), gilakah?!.”
و قال الدارقطنى : أساء القول فيه يحيى بن معين ، و لم يتبين أمره عند أحمد ،
و هو مدنى ، يترك عندى .
“Dan
berkata Ad-Daraquthni: Yahya bin Main berkata buruk tentangnya (yaitu
menjarhnya dengan keras sebagaimana telah lewat ucapannya –pent), dan tidak jelas perkaranya di sisi Ahmad, dan dia adalah oang madinah, di sisiku dia itu matruk (ditinggalkan).”
Bagaimana
Dir?! Puas nggak dengan penjelasan ini? Atau adikmu Dzulqornain -yang
katanya lagi mengadakan daurah takhrij hadits- mau bantu menjawab,
silakan, ana rasa syubhat ini kamu telan dari hizbiyyun judud
Luqmaniyyun karena merekalah yang sering mengulang-ngulang syubhat ini
sebagaimana dalam risalah sesat Sarbini dan selainnya, inilah akibat
duduk-duduk dengan mereka, wallahul musta’an.
Ulama kibar mencela dan mentahdzir dari ghuluw dan pujian yang berlebihan
Allah ta’ala berkata:
{قُلْ
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ غَيْرَ الْحَقِّ وَلَا
تَتَّبِعُوا أَهْوَاءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا مِنْ قَبْلُ وَأَضَلُّوا
كَثِيرًا وَضَلُّوا عَنْ سَوَاءِ السَّبِيلِ } [المائدة: 77]
“Katakanlah: “Wahai ahli kitab, janganlah kalian berlebih-lebihan (melampaui batas) tanpa haq dalam agama kalian!
Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat
sebelumnya dan telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka
tersesat dari jalan yang lurus”. [Al-Maidah: 77].
Dan berkata Allah ta’ala;
{يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ } [النساء: 171]
“Wahai Ahli kitab, janganlah
kalian ghuluw (berlebih-kebihan) dalam (perkara) agama dan jangan pula
kalian bekata atas (nama) Allah kecuali (perkataan yang) benar.” [An-Nisa`: 171].
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
لَا تُطْرُونِي كَمَا أَطْرَتْ النَّصَارَى ابْنَ مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدُهُ فَقُولُوا عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku
sebagaimana Nashoro berlebih-lebihan memuji (‘Isa) ibnu Maryam,
sesungguhnya saya hanyalah hambaNya, maka katakanlah hamba Allah dan
rasulNya. [HR. Bukhari dari hadits 'Umar radhiyallahu 'anhu].
Berkata Syaikhul Islam Muhammad bin ‘Abdil Wahhab An-Najdi rahimahullah dalam kitabnya “Masail Al-Jahiliyyah”:
المسألة الثالثة عشرة
[الغُلُوُّ
فِي العُلَمَاءِ وَ الصَّالِحِينَ، كَقَوْلِهِ: {يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لا
تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ}
[النساء: 171].
Masalah ketiga belas: [Ghuluw terhadap Ulama dan orang-orang sholeh, sebagaimana firman Allah: "Wahai Ahli kitab, janganlah
kalian ghuluw (berlebih-kebihan) dalam (perkara) agama dan jangan pula
kalian bekata atas (nama) Allah kecuali (perkataan yang) benar." [An-Nisa': 171]
Syaikh Sholeh Al-Fauzan hafidzahullah berkata dalam syarahnya terhadap kitab ini:
فالغلو
يجرُّ أصحابه إلى الشرك، ولهذا قال صلى الله عليه وسلم: “لا تُطْرُوني كما
أطرت النصارى ابن مريم” والإطراء هو: الغلو في المدح “إنما أنا عبده،
فقولوا: عبد الله ورسوله”
“Jadi ghuluw menyeret pelakunya kepada kesyirikan, karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Janganlah kalian (ithro’) berlebih-lebihan dalam memujiku sebagaimana Nashoro berlebih-lebihan memuji (‘Isa) ibnu Maryam” dan ithro’ adalah: berlebih-lebihan dalam memuji “sesungguhnya saya hanyalah hambaNya, maka katakanlah hamba Allah dan rasulNya.”
Beliau juga berkata dalam syarahnya:
….والنبي صلى الله عليه وسلم يقول: “إياكم والغلو في الدين، فإنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين”.
فلا
يجوز الغلو في المخلوقين، ورفعهم فوق منزلتهم التي أنزلهم الله فيها؛ لأن
هذا يجر إلى الشرك بالله عز وجل، وكذلك الغلو في العلماء والعباد، قال
تعالى عن اليهود والنصارى: {اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ
أَرْبَاباً مِنْ دُونِ اللَّهِ} [التوبة: 31] غلوا في علمائهم وعبادهم، حتى
اعتقدوا لهم الصلاحية في تحليل الحرام وتحريم الحلال، وتغيير الشرع
المطهر.
“…Dan Nabi shallallah ‘alaihi wa sallam berkata: Hati-hatilah kalian dari sikap ghuluw dalam (perkara) agama, karena sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kalian adalah ghuluw dalam agama.” Jadi tidak boleh ghuluw terhadap makhluk-makhluk, dan mengangkat mereka melebihi derajat yang telah Allah tetapkan, karena ini akan menyeret kepada kesyirikan terhadap Allah ‘azza wa jalla, demikian juga ghuluw terhadap ulama dan ahli ibadah, Allah ta’ala berkata tentang Yahudi dan Nashoro: “Mereka menjadikan para ahbar (orang-orang alim) dan para Rahib (ahli ibadah) mereka sebagai Rabb-Rabb selain Allah” [At-Taubah: 31]. Mereka
ghuluw terhadap ulama dan ahli ibadah mereka, sampai-sampai mereka
meyakini bahwa mereka bisa menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal, serta mengubah syari’at yang suci.” [Lihat “Syarh Masail Al-Jahiliyyah” hal. 59-61, cet. Dar 'Umar bin Khotthob]
Syaikh Robi’ hafidzahullah berkata setelah menyebutkan pujian berlebihan terhadap Falih Al-Harbi :
وأيدت
فئته التي تؤزه هذا الغلو والإطراء على شبكة من شبكات الانترنت التي أنشئت
للفتن والشغب على المنهج السلفي وأهله ألا وهي شبكة الأثري.
ولما
تصدى بعض السلفيين لنقد هذا الغلو أهانوه أشد الإهانة وأطلقوا ألسنتهم
بالسب والشتائم والاتهامات الخطيرة لهذا الناقد ولمن على شاكلته من خيار
الشباب السلفي وقلبوا الأمور فجعلوا صاحب الحق ظالماً وجعلوا الباطل حقاً
وأهله مظلومين على طريقة أهل الأهواء وغلاة الحزبية .
“Dan dia (Falih –pent) menyokong fitnah yang dikuatkan dengan ghuluw dan pujian yang berlebihan
ini dalam situs internet yang dibentuk untuk membikin fitnah dan
kegaduhan terhadap manhaj salaf dan pembawanya, ketahuilah dia adalah
situs Al-Atsari.
Manakala sebagian salafiyyin bangkit untuk mengkritik keghuluwan ini dia
malah menghinakan pengkritik tadi dengan sehina-hinanya, mencela dan
mencercanya serta menuduhnya dengan tuduhan-tuduhan yang mengerikan demikian terhadap siapa yang semacamnya dari para pemuda salafi terbaik (yaitu pemuda yang mengkritik keghuluwan tadi -pent)[32] dan
memutarbalikkan perkara, dengannya mereka (Falih dan komplotannya)
mendudukkan ahlul haq sebagai pelaku kezaliman dan menjadikan kebatilan
sebagai kebenaran dan pelaku kebatilan tadi sebagai orang-orang yang
teraniaya dengan cara-cara ahlul ahwa dan para pembesar hizbiyyin.”
[“Munaqosyah Falih Fi Qodhiyatit Taqlid” hal 2].
Ghuluw dan berlebih-lebihan Khaidir terhadap Syaikh Robi’ hafidzahullah
Telah lewat kalau Khaidir hadahullah
di sisi dia ta’dil lebih dikedepankan kalau yang menta’dil adalah
Syaikh Robi’, walaupun Syaikh Robi’ sendiri tidak mampu menolak jarh
rinci yang ditegakkan oleh Syaikh Yahya hafidzahullah dengan hujjah dan bukti,
inilah salah satu bentuk keghuluwan Khaidir terhadap Syaikh Robi’ waffaqohullah, di mana dia lebih mengedepankan ucapan beliau daripada dalil, hujjah dan bukti yang dipaparkan oleh ahlu dammaj, wallahul musta’an
Di antara berlebih-lebihan Khaidir hadahullah dalam memuji Syaikh Robi’ hafidzahullah adalah ucapannya:
Tidak ada yang pernah mengenal kesesatan Sayyid qutub kecuali nanti setelah Syaikh Robi’ berbicara
Kami
katakan: Tidak perlu kami susah-susah membuktikan berlebih-lebihan
Khaidir dalam memuji ini, karena Syaikh Robi’ sendiri telah berkata:
ردود العلماء من السلفيين وغيرهم على سيد قطب
وهناك
من رد على سيد كما فعل الشيخ السلفي عبدالله الدويش – رحمه الله – انتقد
كتاب الظلال قبل سنوات وسجل نقده في كتاب سماه (المورد الزلال في التنبيه
على أخطاء الظلال) ذكر فيه من أخطاء سيد ثمانين ومائة مسألة، وألف الأخ
السلفي سليم الهلالي كتابا كبيرا في نقد سيد قطب قبل سنوات، وانتقد سيدا كل
من يوسف القرضاوي وأبو الحسن الندوي وعلي جريشة وفريد عبدالخالق في قضايا
التكفير وبعضهم في التهوين من شأن الشرك، وانتقده مجموعة من الإخوان
المسلمين تحت إشراف المرشد العام للإخوان المسلمين حسن الهضيبي في كتاب
(دعاة لا قضاة) وانتقده الشيخ السلفي محمد ناصر الدين الألباني في وحدة
الوجود وانتقده محمود محمد شاكر وآخرون في طعنه في الصحابة وعثمان ومعاوية.
“Bantahan para Ulama salafiyyin dan selain mereka terhadap Sayyid Qutub
Dan di sana ada yang membantah Sayyid sebagaimana yang dilakukan oleh Syaikh Salafy ‘Abdullah Ad-Duwaysh –rahimahullah- beliau mengkritik kitab Adz-Dzullal (karya Sayyid Quthub –pent) berapa tahun lalu,
dan menulis kritikannya dalam satu kitab yang ia beri judul “Al-Mawrid
Az-Zulal fi Tanbih ‘ala Akhtho’ Adz-Dzulal” beliau menyebutkan di
dalamnya seratus delapan puluh masalah dari kesalahan Sayyid, dan telah
menulis Al-Akh As-Salafi Salim Al-Hilali kitab besar dalam mengkritik Sayyid Quthub berapa tahun lalu,
dan telah mengkritik Sayyid: Yusuf Qordhowi, Abul Hasan An-Nadwi, Ali
Jarisyah, dan Farid ‘Abdul Khaliq pada permasalahan takfir dan sebagian
mereka dalam masalah peremehan dalam perkara syirik, dan telah
mengkitiknya sekelompok dari ikhwanul Muslimin di bawah naungan
Penasihat Umum Ikhwanul Muslimin Hasan Al-Hudhoimi dalam kitab: “Du’atun
la Qudhotun”, dan telah mengkritiknya Asy-Syaikh Salafi Muhammad Nashiruddin Al-Albani pada permasalahan wihdatil wujud,
dan mengkritiknya Mahmud Muhammad Syakir dan selain mereka pada
celaannya terhadapa Shahabat, ‘Utsman dan Mu’awiyah. [Lihat “Al-Haddul
Fashil” hal. 21, cet. Darul Minhaj].
Pada kalam Syaikh Robi’ di atas menunjukkan bahwa di sana sudah ada
yang pernah mengkritik dan mengenal kesesatan Sayyid Quthub sebelum
beliau, adapun di sisi Khaidir?!?…
Sebab Perpecahan di sisi Ulama Kibar
Di antara sebab fitnah dan pepecahan di sisi Ulama kibar adalah keluar dari shiratal mustaqim,
meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar, dan bersikeras menetapi
kemungkaran dan menyelisihi kebenaran setelah nasihat dan tegak atasnya
hujjah;
Allah ta’ala berkata:
{وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا إِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ
فَإِذَا هُمْ فَرِيقَانِ يَخْتَصِمُونَ } [النمل: 45]
“Dan
sungguh Kami telah mengutus kepada (kaum) Tsamud saudara mereka Sholeh,
menyeru mereka: “Sembahlah Allah!” tiba-tiba mereka menjadi dua
golongan yang bermusuhan.” [An-Naml: 45].
Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata pada tafsir ayat ini dalam tafsirnya:
يخبر
تعالى أنه أرسل إلى ثمود القبيلة المعروفة أخاهم في النسب صالحا وأنه
أمرهم أن يعبدوا الله وحده ويتركوا الأنداد والأوثان، { فَإِذَا هُمْ
فَرِيقَانِ يَخْتَصِمُونَ } منهم المؤمن ومنهم الكافر وهم معظمهم.
“Allah ta’ala
mengabarkan bahwasanya Dia mengutus kepada kaum Tsamud yaitu qobilah
yang ma’ruf saudara senasab mereka Sholeh dan memerintahkan mereka agar
menyembah Allah semata dan meninggalkan sekutu-sekutu dan
sesembahan-sesembahan, tiba-tiba mereka jadi dua golongan yang
bermusuhan, ada yang beriman dan ada juga yang kafir dan mereka yang terbanyak.”
Jadi manakala Nabi Sholeh ‘alaihi ash-sholatu was salam
datang kepada mereka dengan kebenaran dan hujjah agar hanya menyembah
Allah saja dan meninggalkan kemungkaran dan maksiat yaitu menyembah
sekutu-sekutu selain Allah, merekapun berpecah-belah ada yang menerima dakwah dan hujjah Nabi Sholeh tadi dan adapula yang menolak dan kafir terhadapnya,
Dan tidak seorangpun dari ulama kibar yang mengatakan sebab perpecahan tadi adalah dengan datangnya Nabi Sholeh ‘alaihi ash-sholatu was salam
menjelaskan kepada mereka hujjah dan kebenaran tersebut, tapi sebab
perpecahan adalah bersikerasnya orang-orang kafir di atas kebatilan dan
kemungkaran mereka yang tidak dibangun di atas hujjah melainkan taqlid
kepada bapak-bapak mereka terdahulu
Tidak seperti yang dipahami dari ucapan-ucapan Khaidir[33]
bahwa sebab perpecahan adalah dengan membahas inti permasalahan yang
ada di Yaman yang permasalah itu sendiri juga ada di Indonesia seperti
pembahasan Yayasan, proposal, hizbiyyah ‘Abdurrahman dan ‘Abdullah
Al-Mar’i yang kalian undang, sambut, hadiri dan terjemah muhadharahnya
di Makassar setelah sampainya dan tegaknya hujjah ahlus sunnah kepada
kalian[34],
kemungkaran dan penyelisihan yang ada pada sekolah buatan kalian atau
yang ada di Grenjeng dan selainnya dari kemungkaran namun kalian lebih
memilih taqlid, dan membela dan tetap mengamalkan kemungkaran tadi.
Imam Al-Mu’allimi rahimahullah berkata:
إن قيل : التفرق والاختلاف يصدق بما إذا ثبت بعضهم على الحق وخرج بعضهم عنه ، والآيات تقتضي ذم الفريقين .
قلت
: كلاَّ ، فإن الآيات نفسها على إقامة الدين ، والثبات عليه ، والاعتصام
به، واتباع الصراط ، بل هذا هو المقصود منها ، فالثابت على الصراط لم يحدث
شياً ، ولم يقع بفعله تفرق ولا اختلاف ، وإنما يحدث ذلك بخروج من يخرج من
الصراط ، وهو منهي عن ذلك ، فعليه التبعة .
“Kalau
ada yang bilang: perpecahan dan perselisihan terjadi kalau sebagai
mereka teguh di atas kebenaran dan sebagian lagi keluar dari kebenaran
tadi, sementara ayat-ayat (yang mengandung celaan berpecah belah -pent)
mengharuskan celaan terhadap kedua kelompok yang berpecah.
Saya (Imam Al-Mu’allimi) katakan: sekali-kali tidak, karena sesungguhnya (tujuan) ayat-ayat itu sendiri agar menegakkan agama, dan istiqomah di atasnya, dan berpegang teguh dengannya, serta mengikuti shirathal mustaqim (jalan yang lurus), justru inilah maksud dari ayat-ayat tadi, jadi yang kokoh di atas shirath
tidak mengadakan sesuatupun, dan tidak timbul dari sikapnya perpecahan
tidak pula perselisihan, hal itu (perpecahan dan perselisihan) hanyalah
timbul dari keluarnya orang yang keluar dari jalan yang lurus, sedang
dia sendiri terlarang dari hal tersebut (yaitu terlarang dari keluar
dari jalan yang lurus -pent), maka atas dialah akibat dan tanggungan
(celaan berpecah belah -pent).” [“Al-Qoid ila Tashhihi Al-'Aqoid” hal. 242].
Jadi
kata Imam Al-Mu’allimi sebab perpecahan adalah mereka yang keluar dari
jalan yang lurus bukan mereka yang tegak dan terus istiqomah meniti
jalan yang lurus. Adapun di sisi Khaidir hadahullah sebab
perpecahan adalah kedua belah pihak yang berselisih yang saling
bantah-membantah baik itu pihak Syaikh Yahya yang mendatangkan hujjah
atau pihak hizbiyyin yang melakukan kekacauan dan kemungkaran. Allahul Musta’an.
Tidakkah Khaidir membaca kitab Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah, di mana beliau berkata di “Jami’ As-Shohih” jilid 5 hal, 109, cet. Darul Atsar cetakan kedua:
من أسباب الفتن ترك الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر
“Termasuk dari sebab-sebab fitnah adalah meninggalkan amar ma’ruf nahi mungkar”.
Ketahuilah
Ya Khaidir! Apa yang Syaikh Yahya lakukan hanyalah bentuk amar ma’ruf
nahi mungkar dan menjelaskan fitnah dan penyimpangan serta kemungkaran
yang dilakukan hizbiyyah al-mar’iyyah, yang mereka lakukan di markiz
beliau yang beliau dan para thullabnya lihat dengan mata kepala mereka
sendiri, dan mentahdzir ummat dari mereka dan hizbiyyah mereka, apakah
ini salah dan merupakan sebab perpecahan?! Kalau begitu Syaikh Robi’ dan
para ulama lain yang mentahdzir dan menjelaskan hizbiyyah, fitnah, dan
kemungkaran mantan (atau yang dulunya pernah dianggap) syaikh atau ulama
ahlus sunnah semuanya adalah sebab perpecahan!? Menurut pemahaman
lemahmu ini!? Allahu Yahdik!
Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah berkata:
ولا
شك أن الذي ينبه الناس على الشر قبل وقوعه، هذا ناصح لا داعية فتنة، وأن
الذي يقول هذا الكلام قد قلب الحقيقة –إلى قوله:- إذاً التنبيه على الشرّ
قبل وقوعه من أجل الحذر منه، هذا لا يعد فتنة.
“Tak diragukan lagi bahwa yang menjelaskan kepada manusia kejelekan sebelum terjadinya, orang ini adalah penasihat bukanlah penyeru kepada fitnah,
dan siapa yang mengatakan ini (bahwa yang menjelaskan kepada manusia
kejelekan sebelum terjadinya adalah penyeru kepada fitnah -pent) telah
memutarbalikkan fakta -sampai ucapan beliau- karena mengingatkan dari
kejelekan sebelum terjadinya supaya berhati-hati darinya, ini tidaklah dianggap fitnah.” ["Al-Fatawa Al-Jaliyyah” hal. 39 cet. Darul Atsar, dinukil dari risalah “At-Tajliyah” karya Al-akh Abi Fairuz hafidzahullah].
Kecemburuan Ulama Besar dan Kecemburuan Khaidir
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
إن الله يغار وإن المؤمن يغار وغيرة الله أن يأتي المؤمن ما حرم عليه
“Sesungguhnya
Allah cemburu dan mukmin cemburu dan kecemburuan Allah kalau seorang
mukmin mendatangi apa yang Allah haramkan baginya.” [HR. Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu].
Khaidir hadahullah berkata:
“Syaikh ‘Abdullah kasi nasihat ini meluruskan paham, masyayikh
meluruskan paham sebab apa melihat maslahat dakwah salafiyyah. Iya
perkara yang diperselisihkan perkara yang diperselisihkan yang
menyebabkan perpecahan perkara yang tidak perlu menjadi sebab perselisihan di antara salafiyyun.
Di antara sebab pepecahan dan divonisnya mereka sebagai hizbiyyin pada
fitnah ini sebagaimana telah tertera pada sebagian artikel yang terbit
adalah karena mereka menyelisihi ketetapan-ketetapan salafiyyah seperti
peruntuhan mereka terhadap pokok menerima khobar tsiqoh; lihat
“Mukhtashor Bayan” hal, 70.
Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah berkata:
“Adapun
khobar orang yang adil maka sesungguhnya dia diterima, maka bagaimana
kalau orang yang memberi kabar adalah jama’ah bahkan dari masyarakat
yang terbaik yang paling tinggi dan mulia dari mereka secara ilmu dan
keadilan maka wajib dan harus menerimanya dan barangsiapa yang
menolaknya maka sesungguhnya dia menolaknya dengan hawa yang ada pada dirinya, maka
dia direndahkan/dihinakan karena penolakannya itu dan dianggap sebagai
hizbi karena penolakan khobar itu dan diikutkan serta digolongkan dari
mereka wabillahit Taufiq.” selesai [“Al-Fatawa Al-Jaliyyah” 2/33]
Di
antaranya juga: mereka turun dan ngisi ceramah di tempat hizbiyyin,
lihat “Mukhtashor Bayan” hal. 66-67, Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah berkata:
عند
الشباب السلفي غيرة إذا وجدوا مخالفة للسنة في مؤلف أو في شريط، أو رأوا
من أهل السنة من يمشي مع المبتدعة بعد النصح أنكروا ذلك ونصحوه أو طلبوا من
بعض المشايخ نصحه، فإذا نصح ولم ينتصح هجروه، وهذه منقبة لهم، وليست مذمة
لهم. ["الفتاوى الجلية"/1/232-234]
“Para
pemuda salafi punya kecemburuan apabila mereka mendapati penyelisihan
terhadap sunnah dalam karya tulis atau kaset, atau melihat dari kalangan
ahlus sunnah yang berjalan bersama mubtadi’ah (ahlul bid’ah)
setelah nasihat, mereka akan mengingkarinya dan menasihatinya atau
meminta dari sebagian masyayik untuk menasihatinya, apabila sudah dinasihati tapi dia tidak menerima nasihat, merekapun menghajrnya, dan ini adalah keutamaan bagi mereka dan bukanlah suatu kekurangan bagi mereka.” [“Al-Fatawa Al-Jaliyyah” 1/232-234, di nukil dari risalah “At-Tajliyah” karya Al-akh Abi Fairuz hafidzahullah].
Mereka fanatik dan merebut masjid ahlus sunnah salafiyyin, Syaikh Robi hafidzahullah berkata:
هؤلاء إن لم يتركوا التعصب لعلي الحلبي ولم يرجعوا المركز والمدرسة لهشام فليسوا سلفيين
“Mereka
kalau tidak meninggalkan fanatik terhadap ‘Ali Al-halabi dan tidak
mengembalikan markaz dan madrasah milik Hisyam berarti mereka bukan
salafiyyin.” [lihat “Mukhtashor Bayan” hal: 11 dan 25].
Mereka memiliki loyalitas dan berlepas diri yang sempit (wala wal baro’ dhoyyiq) terhadap kebatilan, lihat “Mukhtashor Bayan” hal: 57-59, Syaikh Muqbil rahimahullah ditanya:
كيف يحذر الشباب من الحزبيات غير الظاهرة والتي لا يحذر منها إلا قليل من الناس وكيف يعرف الشاب أنه خالف منهج السلف في ذلك؟
يعرف بالولاء الضيق، فمن كان معهم فهم يكرمونه، ويدعون الناس إلى محاضراته وإلى الالتفاف حوله، ومن لم يكن معهم فهو يعتبر عدوهم.
“Bagaimana cara mencegah para pemuda dari hizbiyyah
yang tidak nampak, di mana tidaklah melarang dari perkara tersebut
kecuali segelintir orang?? Dan bagaimana diketahui bahwa seseorang itu
telah menyelisihi manhaj salaf dalam perkara tersebut?”
Beliau menjawab “Diketahui dengan loyalitas yang sempit.
Barangsiapa bersamanya maka mereka menghormatinya dan menyeru
orang-orang untuk menghadiri ceramahnya dan berkumpul di sekitarnya. Dan
barangsiapa tidak bersama dengan mereka maka dia dianggap sebagai musuh
oleh mereka..” [“Tuhfatul Mujîb”].
Bagaimana
ya Khaidir? Ini baru beberapa yang ana sebutkan kalaulah khawatir
risalah ini kepanjangan niscaya kami sebutkan lebih banyak tapi sudah
dibahas pada makalah lain, apakah apa yang telah lewat ini di sisimu ‘perkara yang tidak perlu menjadi sebab perselisihan di antara salafiyyun‘?! Allahu Yahdik!
Batilnya Manhaj “Nushohhih wa laa Nuhaddim” (Kita Perbaiki dan tidak Meruntuhkan) dan Kaidah “Nushohhih wa laa Nujarrih” (Kita perbiki dan tidak kita jarh) di sisi Ulama Besar
Syaikh Ahmad Bazmul waffawohullah
telah menukilkan beberapa fatwa ‘ulama dalam kitabnya “Shiyanatu
As-Salafi…” hal 203-205 sebagai bantahannya terhadap ‘Ali Al-Halabi pada
kaidah batil ini; di antaranya beliau menukil jawaban Syaikh Muhammad
bin Sholeh Al-’Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang apa yang diucapkan pada kesalahan ahlul bida’: “Nushohhih wa laa Nujarrih” (Kita perbiki dan tidak kita jarh). Maka beliau menjawab:
هذا غلط بل نجرح من عاند الحق.
“ini keliru bahkan kita jarh siapa yang menentang kebenaran.”
Beliau juga berkata:
إذا
كان الخلاف في مسائل العقائد فيجب أن نصحح وما كان على خلاف مذهب السلف
فإنه يجب إنكاره والتحذير ممن يسلك ما يخالف السلف في هذا الباب
“Apabila
perselisihan pada perkara-perkara akidah maka wajib kita perbaiki dan
apa yang menyelisihi madzhab salaf maka wajib mengingkarinya dan
mentahdzir dari orang yang menempuh apa yang menyelisihi salaf pada bab
ini.” [“Ash-Shohwah Al-Isalamiyyah wa Dhowabithuha”, hal: 116].
Syaikh Sholeh bin Fauzan Al-Fauzan hafidzahullah ditanya tentang kaidah “Nushohhih wa laa Nujarrih” (Kita perbaiki dan tidak kita jarh)?
Maka beliau menjawab:
هذه القاعدة ما لها أصل أقول هذه القاعدة ما لها أصل, أهل الباطل لازم تجريحهم
“Ini adalah kaidah yang tak berasas, aku katakan kaidah ini tidak ada asalnya, ahlul batil mesti dijarh.”
Beliau juga pernah ditanya tentang kaidah:
يجوز التخطئة ويحرم الطعن؟
“Boleh menyalahkan dan tidak boleh mencela?”
Beliau menjawab:
هذه مثل نصحح ولا نجرح! هي نفسها انتهى.
“Ini seperti (kaidah) “Nushohhih wa laa Nujarrih“! dia sama saja”, selesai.
Kaidah ini juga diucapkan dan diserukan oleh ‘Adnan ‘Ar’ur dengan lafadz: “Nushohhih wa laa Nujarrih“
Dan diulang lagi oleh Abul Hasan Al-Maribi dengan Lafadz: “Nushohhih wa laa Nuhaddim” [Lihat “Shiyanatu As-Salafi…”].
Batilnya Kaidah “kita tidak menjadikan perselisihan kita pada selain kita sebab perpecahan antara kita” di sisi ulama besar
Syaikh Rabi’ hafidzahullah ditanya
tentang kaidah: kita tidak menjadikan perselisihan kita pada selain
kita sebab perpecahan antara kita? Maka beliau menjawab:
بأنها
قاعدة فاسدة, وأنهم من خلالها يريدون التوصل إلى عدم التبديع وجرح من هو
أهل للجرح والتبديع مثل المغراوي وأبي الحسن المأربي ومحمد حسان…اهـ.
“Bahwasanya
dia adalah kaidah rusak, dan bahwa dengan kaidah ini maksud mereka
supaya tidak membid’ahkan (memvonis mubtadi’) atau menjarh orang yang
berhak dijarh dan dibid’ahkan seperti Al-Maghrowi, Abul Hasan Al-Ma’ribi
dan Muhammad Hassan…”-selesai-
Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah berkata dalam membantah ucapan ‘Ali Al-Halabi hadahullah pada kaidah ini:
على
أي شيء يجب اجتماعنا؛ أليس على الحق؟! بلى؛ فإن خالف الحق أحد وجب علينا
أولا أن ننصحه, ونبين له ؛فإن رجع , وإلا فإنه يجب علينا أن نعتبره شاذا,
ونرفضه؛ فإن أيده أحد, وأعانه على باطله أنكرنا على المؤيد, وهجرناه,
وبالأخص إذا كانت بدعته أو مخالفته واضحة, وضارة كبدعة الخوارج, ولا يجوز
أن نترك الإنكار على المميع حرصا على جمع الكلمة…
“Di atas apakah kita wajib untuk bersatu, bukankah di atas Al-Haq?!
Tentu, apabila seseorang menyelisihi al-haq wajib bagi kita
menasihatinya pertama, dan menjelaskan kepadanya, kalau dia taroju’
(kembali dari kesalahannya kepada kebenaran), kalau tidak maka wajib
bagi kita untuk menganggapnya sebagai orang yang menyendiri (dari
jama’ah al-haq -pent), dan menolaknya. Dan kalau ada yang menguatkannya,
dan menolongnya di atas kebatilannya kita ingkari yang menguatkannya
itu, dan kita hajr (boikot) terutama kalau bid’ahnya atau
penyelisihannya jelas, dan memudaratkan seperti bid’ah khawarij
(pemberontak), dan tidak boleh kita meninggalkan pengingkaran terhadap mumayyi’
(orang yang lembek tidak tegas seperti Khaidir -pent) dengan alasan
menjaga kesatuan (keutuhan dakwah kata Khaidir -pent)… [Lihat “Shiyahatu
As-Salafi” hal. 198-200]
Jatuhnya Khaidir pada kaidah “Nushohhih wa laa Nujarrih” dan kaidah “kita tidak menjadikan perselisihan kita pada selain kita sebab perpecahan antara kita” pada fitnah ini
Telah lewat penjelasan bahwa penyelisihan hizbiyyah ‘Abdurrahman
Al-Mar’i dan komplotonnya berhak untuk di jarh itupun Syaikh Yahya hafidzahullah menjarhnya setelah menasihatinya sekian tahun dan setelah istikhoroh sekian bulan, Adapun Khaidir hadahullah tanpa dia sadari terjerumus pada dua kaidah batil tadi sebagaimana pada ucapannya:
Syaikh ‘Abdullah itu
menengahkan –iya- ada yang yang mengatakan Syaikh ‘Abdullah lebih
cenderung dengan kelompok misalnya dari ustadz Luqman Ba’abduh dan yang
semacamnya ndak, tidak-tidak bahkan Syaikh ‘Abdullah itu banyak mengkritik dari sisi, kita tahu betul permasalahannya Syaikh Abdullah ngak sebut permasalahan tapi menasihati ini bantahan terhadap orang yang mengatakan ini kita tahu siapa orang yang mengatakan ini dari kelompok sini[35].
Dan ucapannya
… pakar rumput-rumput, perumput itu lebih hebat komentarnya, ustadznya belum bilang hizbi, dia sudah duluan hizbi itu“
Ditambah
lagi upayanya untuk menghalangi dan mencegah orang yang hendak
menjelaskan inti permasalahan, dengan alasan basi : supaya tidak terjadi
perpecahan atau demi menjaga keutuhan dakwah.
Sepertinya ustas Khaidir ini masih perlu banyak belajar dan menimba ilmu, ([36]) jangan buru-buru berbicara Dir! Apalagi berbicara pada sesuatu yang bukan keahlianmu. Ashlahakallah.
Penutup
Kami
tidak ada maksud ataupun selera untuk menjatuhkan dan menghinakan
seseorang, karena di sisi Allah-lah kemuliaan dan kehinaan, Dia muliakan
siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia hinakan siapa yang dikehendaki-Nya;
Allah ta’ala berkata:
{
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ
وَتَنْزِعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ
مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ } [آل
عمران: 26]
“Katakanlah:
“Wahai Allah yang menguasai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada
siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari siapa yang
Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa yang Engkau kehendaki dan Engkau
hinakan siapa yang Engkau kehendaki. di tangan Engkaulah segala
kebaikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu. [Ali
'imran: 26].
Hanya saja Khaidir sendirilah yang menghinakan dirinya sendiri dengan penyelisihan dan penyimpangannya[37], Allah ta’ala berkata:
{ وَالَّذِينَ كَسَبُوا السَّيِّئَاتِ جَزَاءُ سَيِّئَةٍ بِمِثْلِهَا وَتَرْهَقُهُمْ ذِلَّةٌ } [يونس: 27]
“Dan orang-orang yang melakukan kejelekan baginya balasan kejelekan yang setimpal dan mereka ditimpa kehinaan.” [Yunus: 27].
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkata:
(( وجعلت الذلة والصغار على من خالف أمري ومن تشبه بقوم فهو منهم))
“Dan ditimpakan kehinaan dan kerendahan bagi siapa yang menyelisihi perintahku, dan barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” ([38])
Adapun ucapan Khaidir: Perlu
saya tegaskan banyak perkara yang saya tidak jawab, sebab kapan saya
jawab orang yang saya bantah akan betul-betul hina, betul-betul
dihinakan kalau saya buka semuanya, hanya itu tidak pantas. ([39])
Kami
katakan: kami tidak tahu siapa yang kamu maksud dengan orang yang kamu
bantah atau mau bantah di sini melainkan qorinah menunjukkan bahwa orang
itu adalah orang yang menerima kebenaran yang berada bersama Syaikh
Yahya hafidzahullah pada fitnah ini, akan tetapi apa yang telah
lewat menunjukkan kamulah yang berada dalam kehinaan, dan kami tidak
yakin kalau kamu masih berada pada pondasi kebatilan dan penyelisihan
yang telah lewat bisa menghinakan orang yang kamu bantah dengan
sehina-hinanya, justru kami khawatir orang yang kamu bantah atau hendak
kamu bantah itu yang akan menghinakanmu dengan kebenaran dan hujjah yang
telah lewat tadi dan selainnya. ([40])
Nasihat untuk khaidir
Akhirnya kami nasihatkan Khaidir dan semisalnya untuk tawadhu([41])
dengan menerima kebenaran dan taroju’ dari kesalahannya dan mengumumkan
hal tersebut di majlisnya dan menyebarnya sebagaimana dia menyebar
kesalahannya ini dan itu tidaklah menghinakannya bahkan itu adalah jalan
kemuliaan dan diangkatnya derajat; Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
ما نقصت صدقة من مال وما زاد الله عبدا بعفو إلا عزا وما تواضع أحد لله إلا رفعه الله
“Tidaklah shodaqoh mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan mau memaafkan kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang tawadhu karena Allah melainkan Allah angkat (derajatnya -pent). [HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu].
Dan jazallahu Khairan Al-Akh Abu Fairuz hafidzahullah yang
telah mengoreksi risalah ini, semoga risalah sederhana ini bermanfaat
bagi kaum muslimin terkhususnya salafiyyin dan menjadikan amalan kami
hanya mengharap keridhoan-Nya.
سبحانك اللهم وبحمدك أستغفرك وأتوب إليك
Selesai Di Darul Hadits Dammaj harasahallah
12 Muharrom 1433
([1]) Tambahan editor وفقه
الله: Memang Khoidhir bergaya membawa bendera salaf, sehingga sebagian
orang tertipu walaupun dulu ana telah memperingatkan orang yang tertipu
tersebut.
([2]) Tambahan editor وفقه
الله: Orang yang bukan munafiq tapi membawa syubuhat munafiqun dan tak
mau menerima nasihat, maka umat juga harus diperingatkan dari bahaya
dirinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Dan jika ada
sekelompok orang yang bukan munafiqun akan tetapi mereka gemar
mendengarkan ucapan munafiqin sehingga menjadi tersamarlah di hati
mereka keadaan munafiqin hingga mengira bahwasanya perkataan mereka
adalah suatu kebenaran padahal dia itu menyelisihi Al Qur’an, hingga
akhirnya jadilah orang-orang tadi menjadi penyeru kepada kebid’ahan para
munafiqin sebagaimana firman Alloh ta’ala:
﴿لو خرجوا فيكم ما زادوكم الا خبالا ولأوضعوا خلالكم يبغونكم الفتنة وفيكم سماعون لهم﴾
“Jika mereka
berangkat bersama-sama kalian, niscaya mereka tidak menambah kalian
selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke
muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara
kalian; sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka
mendengarkan perkataan mereka.”
Maka harus juga menjelaskan
keadaan mereka. Bahkan fitnah dari keadaan mereka itu lebih besar karena
di dalam diri mereka ada keimanan yang mengharuskan masih adanya
loyalitas dengan mereka, sementara mereka itu telah masuk ke dalam satu
kebid’ahan dan bid’ah-bid’ah munafiqin yang merusak agama. Maka umat
harus diperingatkan dari kebid’ahan itu walaupun peringatan tadi
mengharuskan untuk menyebutkan orang-orang tadi satu persatu. Bahkan
walaupun mereka tidak mendapatkan kebid’ahan tadi dari seorang munafiq,
tetapi mereka mengucapkannya dalam keadaan mereka mengira bahwasanya
bid’ah tadi adalah petunjuk, juga mengira bahwasanya bid’ah tadi adalah
kebaikan dan agama padahal kenyataannya tidak demikian, tetaplah wajib
untuk menjelaskan keadaannya.” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 233).
([3]) Tambahan editor وفقه
الله: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Maka barangsiapa
mengikuti agama bapak-bapak dan para pendahulunya dikarenakan adat yang
dirinya telah terbiasa dengannya, dan tidak mau untuk mengikuti
kebenaran yang wajib untuk diikutinya, maka dia inilah pembebek yang
tercela, dan inilah keadaan Yahudi dan Nashoro, bahkan ahlul bida’ wal
ahwa di kalangan umat ini yang mengikuti syaikh-syaikh mereka dan para
pemimpin mereka di selain kebenaran.” (“Majmu’ul Fatawa”/4/hal.
197-198).
[4] Syaikh Robi’ waffaqohullah
berkata sebagaimana dalam salah satu kaset bantahannya terhadap Falih
Al-Harbi: “Jadi burhan membungkam beribu-ribu orang yang tidak memiliki
hujjah. Walaupun mereka adalah ‘ulama. Ini
adalah kaidah yang wajib untuk diketahui dan HENDAKNYA KALIAN MERUJUK
KITAB-KITAB ‘ILMU HADITS TERUTAMA YANG MELUAS PEMBAHASANNYA SEPERTI TADRÎBUR ROWÎ, DAN SEPERTI FATHUL MUGITS, SYARH ALFIAH AL-’IROQI,
dan ini adalah perkara-perkara yang telah jelas di sisi ‘ulama, yang
menyelisihi dan berbicara tentang hal ini dengan bathil tidak
diperkenankan, karena kita akan merusak ‘ilmu-‘ilmu islamiyah dan
meruntuhkan kaidah-kaidah dan … dan …dan seterusnya dengan cara-cara
seperti ini.
Jadi tidak boleh bagi seorang muslim mengutarakan kepada manusia kecuali al-haq. Dan (hendaknya) ia menjauh dari perkara yang samar dan hiyal (tipu muslihat) barokallohu fîkum.” Selesai. [lihat “Mukhtashor Bayan”].
([5]) Tambahan editor وفقه
الله: Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Dan Alloh ta’ala telah
menjelaskan di dalam kitab-Nya jalan kaum Mukminin secara terperinci,
dan juga jalan kaum mujrimin secara terperinci, menjelaskan kesudahan
Mukminin secara terperinci, dan kesudahan mujrimin secara terperinci,
menjelaskan amalan Mukminin dan amalan mujrimin, menjelaskan para
penolong Mukminin dan penolong mujrimin, menjelaskan taufiq-Nya kepada
Mukminin dan penelantaran-Nya terhadap mujrimin, menjelaskan sebab-sebab
taufiq-Nya kepada Mukminin dan sebab-sebab penelantaran-Nya terhadap
mujrimin. Alloh yang Mahasuci menerangkan kedua perkara itu di dalam
kitab-Nya, menyingkapkannya, dan menjelaskannya dengan paling jelas
hingga disaksikan oleh mata hati bagaikan penglihatan mata kepala
terhadap cahaya dan kegelapan. Maka orang-orang yang mengetahui Alloh,
kitab-Nya dan agama-Nya mengenal jalan kaum Mukminin dengan pengenalan
yang terperinci, juga mengenal jalan kaum mujrimin dengan pengenalan
yang terperinci. Maka jelaslah bagi mereka kedua jalan tadi sebagaimana
jelasnya jalan bagi orang yang berjalan jalur yang menyampaikannya
kepada maksudnya, dan jalur yang menyampaikannya kepada kebinasaan.
Mereka adalah makhluk yang paling berilmu, paling bermanfaat untuk
manusia, dan paling memberikan nasihat pada mereka –sampai dengan- maka
barangsiapa tidak mengenal jalan orang-orang yang jahat, dan jalan itu
tidak jelas baginya, hampir-hampir dia itu mengira bahwasanya sebagian
jalan mujrimin merupakan jalan Mukminin, sebagaimana terjadi di umat ini
di dalam banyak perkara dalam bab aqidah, ilmu dan amal padahal dia itu
adalah jalan mujrimin, kuffar dan musuh para Rosul. Orang yang tidak
tahu bahwasanya dia itu adalah jalan mereka memasukkannya ke dalam jalam
Mukminin dan menyeru kepadanya.” (“Al Fawaid”/hal. 108-109).
([6]) Tambahan editor وفقه
الله: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Dan seperti para pemimpin
kebid’ahan dari kalangan pemilik ucapan-ucapan yang menyelisihi Al
Kitab dan As Sunnah, atau ibadah-ibadah yang menyelisihi Al Kitab dan As
Sunnah, maka penjelasan keadaan mereka, dan memperingatkan umat
terhadap mereka adalah wajib, dengan kesepakatan muslimin. Sampai
dikatakan pada imam Ahmad bin Hanbal: “Seseorang yang berpuasa, sholat
dan I’tikaf lebih Anda sukai ataukah orang yang berbicara tentang ahlul
bida’?” Maka beliau menjawab,”Jika dia berpuasa, sholat dan I’tikaf,
maka hanyalah hal itu untuk dirinya sendiri. Tapi jika dia berbicara tentang ahlul bida’ maka itu hanyalah untuk muslimin, dan itu lebih utama.”
Maka beliau menerangkan bahwasanya manfaat amalan yang ini mencakup
seluruh muslimin di dalam agama mereka, dari jenis jihad fisabilillah.”
(“Majmu’ul Fatawa” 28/232)
([7]) Tambahan editor وفقه
الله: atsar ini diriwayatkan oleh Al Khothib Al Baghdadiy رحمه الله
dalam “Al Kifayah” (no. 95) dan Ibnu Abi Ya’la رحمه الله dalam
“Thobaqotul Hanabilah” (1/hal. 286) dari Bandar Al Jurjaniy رحمه الله
yang bertanya pada Al Imam Ahmad رحمه الله.
([8]) Tambahan editor وفقه
الله: Iya benar, ini merupakan salah satu pokok Islam. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Karena sesungguhnya pokok agama ini
adalah amar mar’uf dan nahi munkar.” (“Majmu’ul Fatawa”/27/442).
([9]) Tambahan editor وفقه
الله: yang berbicara tentang “Karakter Haddadiyyah”. Edisi refisinya
berjudul –sesuai dengan pilihan Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy حفظه الله :
“Shifatul Haddadiyyatil Mar’iyyah Fi Munaqosyatin ‘Ilmiyyah” , dengan
judul terjemahan terakhir: “Karakter Haddadiyyah Mar’iyyah Dalam Diskusi
Ilmiyyah”. Sebagian ustadz pada awalnya gentar dengan munculnya risalah
ini, dan bersikap melemahkan, karena bagi sebagian orang: karisma itu
lebih tinggi daripada kekuatan hujjah.
Risalah ini telah dinilai dan didukung oleh Fadhilatu Syaikhina Muhammad bin Hizam Al Ba’daniy حفظه الله
Sebagaimana dalam kata pengantar beliau.
Juga risalah ini didukung oleh Fadhilatu Syaikhina Abi Amr Ahmad Al Hajuriy حفظه الله , sebagaimana dalam kata pengantar beliau.
Dan Alhamdulillah ana telah mendapatkan izin penyebarannya oleh Fadhilatu Syaikhina Yahya Al Hajuriy حفظه الله .
Ana mohon maaf telah
memperpanjang kata. Hal ini dikarenakan banyaknya kebimbangan sebagian
ikhwah atas munculnya risalah ilmiyyah tadi, padahal seandainya
manusia mau membaca risalah tadi dengan memurnikan hati untuk Alloh dan
membulatkan tekad untuk mencari kebenaran, insya Alloh dia akan tahu
bahwasanya cahaya kebenaran yang terpancar dari hujjah-hujjah yang
dipaparkan di dalam risalah tadi, dan akan tahu
bahwasanya kemilau cahaya tadi jauh lebih kuat daripada karisma dan
wibawa seorang tokoh, lebih-lebih manakala tokoh tadi dalam kasus
tersebut menjauh dari kebenaran. Semua itu dengan taqdir dan izin Alloh
semata.
([10]) Tambahan editor وفقه
الله: bahkan sudah lebih dari seratus dua puluh risalah. Tapi penghalang
hidayah memang banyak, sesuai dengan hikmah dari Alloh ta’ala.
([11]) Tambahan editor وفقه
الله: rinci dengan hujjahnya. Al Imam Adz Dzahabiy رحمه الله telah
berkata: “… para ulama tidak berpaling kepada yang seperti ini kecuali
jika disertai penjelasan dan hujjah, dan ‘adalah (status kelurusan
agama) mereka tidak jatuh kecuali dengan burhan yang kokoh dan hujjah,…”
dst. (“Siyar A’lamin Nubala”/7/hal. 40/tarjumah Ibnu Ishaq).
([12]) Tambahan editor وفقه
الله: banyak orang mengulang-ulang perkataan “hukum itu berdasarkan
zhohirnya!” tapi mereka lalai bahwasanya zhohir hujjah yang dibawakan
oleh orang yang berilmu yang tsiqoh itu jauh lebih kuat daripada zhohir
perkataan dan penampilan orang yang di-jarh. Fadhilatul Mufti Ahmad An
Najmiy رحمه الله berkata: “Maka tidak boleh tertipu dengan lahiriyyah
seseorang. Tiada keraguan bahwasanya kita akan berkata bahwasanya orang
ini lahiriyyahnya baik, selama kita tidak mengetahui adanya kejelekan
padanya. Maka jika dikatakan pada kita: “Sesungguhnya orang di
belakangnya ada begini dan begitu,” maka wajib bagi kita untuk mengambil perkataan orang yang berkata pada kita demikian, jika dia memang terpercaya.
Dan sesungguhnya ahli ilmu ketika mengatakan tentang suatu kaum:
“Sesungguhnya mereka itu mubtadi’un” maka sesungguhnya mereka itu
tidaklah mengucapkan perkataan ini secara zholim. Akan tetapi hanyalah ahli ilmu mengucapkan itu dengan berdasarkan perkara-perkara yang mereka bersandar kepadanya… dst. (“Al Fatawal Jaliyyah”/hal. 44-45).
[13] Berkata Al-Khathib rahimahullah
menjelaskan perkara ini: karena barangsiapa yang beramal dengan ucapan
yang menjarh, dia tidak menuduh yang mentazkiyyah (menta’dil) dan tidak
pula mengeluarkannya dari ‘adalahnya (sifat seseorang yang
diterima khabarnya) tapi kapan dia tidak beramal dengan ucapan yang
menjarh berarti dia pada tindakannya itu terdapat pendustaan terhadap penjarh dan peruntuhan terhadap ‘adalahnya sementara telah diketahui bahwa amanah penjarh menyelisihi itu.["Al-Kifayah", hal.108].
[14]
Bukan cuma itu bahkan meremehkan dan merendahkan siapa yang menerima
jarh rinci tersebut dengan hujjahnya, sebagaimana pada ucapannya:
“…tapi trus berlanjut
bantah-membantah di internet iya di sejenjang Syaikh, iya sederajat
Syaikhnya apalagi di bawah Syaikh dari kalangan ustadz-ustadz ikut juga
dari pengikut ustadz-ustadz ada juga tukang sapunya ustadz-ustadz iya
…-para pendengar miskin yang tertipu dengan bualan Khaidir tertawa-… pakar rumput-rumput, perumput itu lebih hebat komentarnya, ustadznya belum bilang hizbi, dia sudah duluan hizbi itu“
Dan kita ketahui bersama tidak ada yang menvonis dengan hizbiyyah dalam kasus ini kecuali Syaikh Yahya hafidzahullah
dan yang bersamanya dari masyayikh dan para penuntut ilmu mengambil dan
menerima jarh rinci itu dengan hujjah dan buktinya, bukan dari pihak
Luqmaniyyun dan Mar’iyyun, ini menunjukkan Khaidir mengisyaratkan dengan
ucapannya ‘tukang rumput’ kepada ahlil haq yang menerima jarh rinci
tersebut dan menyifati mereka dengan kejelekan, padahal tukang sapu atau
pakar rumput itu bisa jadi lebih baik dari pada Khaidir, kalau tukang
bersih-bersih di Dammaj ada yang hapal Al-qur’an dan rajin hadir dars di
sini, kalau Khaidir saya tidak tahu apakah dia selesai hapalan
al’qur’annya atau tidak, tapi dalam rekamannya ini tidak satu ayatpun
yang dia angkat, tukang bersih-bersih ada yang menerima jarh rinci ulama
jarh wat ta’dil dengan hujjahnya sesuai dengan pengamalan salaf dan
ulama besar, adapun Khaidir tidak menerima jarh rinci tersebut dengan
modal taqlid bahkan menyeru kepada taqlid, Allahul musta’an
{ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا
خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا
مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ
بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ
فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ } [الحجرات: 11]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah sebagian orang laki-laki merendahkan sebagian yang lain, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka.
dan jangan pula sebagian perempuan merendahkan sebagian yang lain,
boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik dari mereka (yang
merendahkan). dan janganlah kalian suka mencela diri-diri kalian sendiri
dan jangan pula memanggil dengan gelaran (yang buruk atau mengandung
ejekan). seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah
iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka Itulah orang-orang
yang zalim.” [Al-Hujurat: 11].
Wahai Khaidir!
sejak kapan para ulama mengharuskan menunggu ustadz dulu baru boleh
menerima kebenaran, atau menunggu ustadz dulu baru boleh menerima jarh
rinci dari seorang ulama yang dilengkapi dengan bukti-bukti dan dalilnya
dan mengatakan fulan hizbi dengan hal tadi?!
[15] Maksud Khaidir : Syaikh
Robi’ sudah bilang semuanya salafi, sudah nggak perlu lagi bantah
membantah taqlid saja sama beliau.
[16]
Beliau adalah salah satu Syaikh yang dianggap oleh “si miskin”
Dzulqornain bin Sanusi Makassar sebagai rujukan di Yaman sebagaimana
dalam salah satu kaset pembelaannya terhadap Yayasan.
[17]
Beliau juga salah satu Syaikh yang dianggap oleh “si miskin”
Dzulqornain bin Sanusi Makassar sebagai rujukan di Yaman sebagaimana
dalam salah satu kaset pembelaannya terhadap Yayasan.
[18]
Akan datang Insya Allah bantahan untuk Khaidir pada pengharusannya
kepada seorang ulama jarh wat ta’dil untuk meruju’ kepada orang besar
diantara ulama jarh wat ta’dil sebelum menjarh seseorang.
([19]) Tambahan editor وفقه
الله: dengan teliti Akhunal fadhil Abu Abdirrohman Shiddiq membongkar
ucapan-ucapan Khoidir yang saling bertabrakan. Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه
الله berkata: “Dan ucapan-ucapan itu jika saling bertabrakan dan tidak
bisa ditentukan mana yang lebih kuat, itu merupakan dalil tentang
kerusakannya dan kebatilannya.” (“Miftah Daris Sa’adah”/2/hal. 147).
([20]) Tambahan editor وفقه
الله: ucapan ini dinukil oleh Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله dalam
“I’lamul Muwaqqi’in” (2/hal. 282).
([21]) Tambahan editor وفقه
الله: ini merupakan manhaj hizbiyyun. Si Khoidir walaupun bergaya
netral, tapi ucapan-ucapan dan sikapnya menunjukkan bahwasanya dia
adalah ekor hizbiyyin. Ketika Salafiyyun menampilkan kebatilan Muhammad
Surur dan teman-temannya, Sururiyyun teriak: “Kita tunggu kibarul
ulama!”. Ketika Salafiyyun dengan hujjah-hujjahnya membongkar kejahatan
Abul Hasan Al Mishriy, berteriaklah pengikutnya: “Kita tunggu kibarul
ulama!”. Ketika Salafiyyun dengan hujjah-hujjahnya menyingkap makar
Abdurrohman Al ‘Adniy dan pengikutnya, berteriaklah pengikutnya: “Kita
tunggu kibarul ulama!”, “Rujukan saat terjadi fitnah hanyalah ulama
kibar lahir dan batin!” sebagian dari mereka berkata tentang Salafiyyun
yang aktif menolong kebenaran: “Mereka hanyalah anak kecil saja.”
[22] Syaikh Muqbil rahimahullah berkata:
فالأموال التي تكون فيها إهانة للعلم وللدعاة إلى الله، أو دعوة إلى حزبية، أو جعل المساجد للشحاذة، فلسنا بحاجتها.
ويالله كم من داعية كبير تراه يحفظ الآيات التي فيها ترغيب في الصدقة، وينتقل من هذا المسجد إلى هذا المسجد: {وما تقدّموا لأنفسكم من خير تجدوه عند الله هو خيرًا وأعظم أجرًا} (1).
وانقلب المسكين من داعية إلى شحاذ، وصدق الرسول صلى الله عليه وعلى آله وسلم إذ يقول: ((لكلّ أمّة فتنةً، وفتنة أمّتي المال)).
وتلكم الجمعيات التي لا
يؤذن لها إلا بشروط أن تكون تحت رقابة الشئون الاجتماعية، وأن يكون فيها
انتخابات، وأن يوضع مالها في البنوك الربوية، ثم يلبّس أصحابها على الناس
ويقولون: هل بناء المساجد، وحفر الآبار، وكفالة اليتامى حرام؟ فيقال لهم:
ياأيها الملبّسون: من قال لكم: إن هذه حرام؟ فالحرام هي الحزبية، وفرقة
المسلمين، وضياع أوقاتكم في الشحاذة، ولقد انقلبت العمرة في رمضان إلى
شحاذة
“Harta yang ada padanya
penghinaan terhadap ilmu dan para da’i ilAllah, atau dakwah kepada
hizbiyyah, atau menjadikan mesjid-mesjid sebagai sarana untuk meminta-minta, maka kami tidak butuh kepadanya.
Duhai berapa
banyak para da’i besar yanng menghapal ayat-ayat yang mengandung anjuran
untuk bersedekah, pindah-pindah dari mesjid ini ke mesjid ini: “Dan
kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu
memperoleh (balasan)nya di sisi Allah itu lebih baik dan yang lebih
besar pahalanya.” [Al-Muzzammil: 20].
Si orang malang inipun berubah dari seorang da’i menjadi pengemis, benarlah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berkata: “setiap ummat punya fitnah, dan fitnah ummatku adalah harta”.
Dan yayasan-yayasan itu
yang tidak diijinkan (berdiri) kecuali dengan syarat-syarat mesti
berada dibawah pengawasan departemen swadaya masyarakat, ada padanya
intikhobat (pemilu), dan menaruh uangnya dalam BANK ribawiyyah, kemudian
pembelanya membuat pengkaburan terhadap manusia dan mengatakan: Apakan
membangun mesjid-mesjid, menggali sumur-sumur, dan mengasuh anak yatim
itu haram? Dijawab untuk mereka: Wahai para mulabbis: siapa yang bilang
itu haram? Yang haram adalah hizbiyyah, memecah belah kaum muslimin, dan membuang waktu untuk ngemis, dan telah berubah ‘umrah di Ramadhan jadi ngemis. [“Dzammul Masalah”, hal: 33-34, cet. Darul Atsar cetakan ketiga].
[23] Syaikh Robi waffaqohullah berkata:
أوجد جمعية أو حزب هذا تفريق الأمة ينافي قول الله {و اعتصموا بحبل الله جميعاً و لا تفرقوا}[ آل عمران :103]
Adanya jam’iyyah (yayasan) atau partai, akan menyebabkan perpecahan umat, dan ini bertentangan dengan ucapan Allah:
{و اعتصموا بحبل الله جميعاً و لا تفرقوا} [آل عمران :103]
“berpegang teguhlah dengan
tali Allah dan janganlah kalian berpecah-belah”. [Kaset: “Nashihatun
sharihatun lith-thullab al-jami'ah al-islamiyyah” sebagaimana yang
dinukil oleh Askari sendiri].
Syaikh Muhammad bin ‘Abdillah Al-Imam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Buro’i, Syaikh Muhammad Ash-Shoumali hafidzahumullah wa waffaqohum dan selainnya berkata:
الجمعيات ما نريدها ولو
كانت تقية, زكية, نقية ما نريدها وما سنكون جمعيين فلسنا جمعيين ولا نحب
الجمعية ولو كانت نقية ما نريدها ليست موجودة على عهد رسول الله صلى الله
عليه وسلم. [مصدر شريط: تبيين الكذب والمين 2].
Al-Jum’iyyah (yayasan) kami
tidak menginginkannya meskipun dia di atas taqwa, bersih, suci (tiada
kemaksiatan di dalamnya -pent) dan kami tidak akan mendirikan yayasan, kami bukan orang yayasan dan tidak pula senang dengan yayasan walaupun yayasan itu bersih (jauh dari maksiat –pent) kami tidak menginginkannya, (yayasan-yayasan itu) tidak ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Sumber kaset “Tabyiin Al-Kadzib wa Al-Main” 2].
([24]) Tambahan editor وفقه الله: kalau kamu mengatakan: “Tidak harus” maka batallah ucapanmu di atas.
([25]) Tambahan editor وفقه
الله: ucapan ini dinukil oleh Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله dalam
“I’lamul Muwaqqi’in” (2/hal. 201).
([26]) Tambahan editor وفقه
الله: ucapan ini dinukil dengan makna oleh Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه
الله dalam “I’lamul Muwaqqi’in” (2/hal. 285).
([27]) Tambahan editor وفقه
الله: ucapan ini dinukil oleh Al Imam Syamsuddin Muhammad Ath
Thorobilisiy رحمه الله dalam “Mawahibul Jalil Li Syarh Mukhtashorul
Kholil” (4/hal. 54).
([28]) Tambahan editor وفقه
الله: ini telah tetap dari Imam Malik رحمه الله , dan diriwayatkan juga
ucapan macam oleh Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله dalam “Jami’ Bayanil
‘Ilm” (no. 1087) dari Mujahid bin Jabr رحمه الله dan dishohihkan oleh
Al Imam Ibnu Abdil Barr رحمه الله.
([29]) Tambahan editor وفقه
الله: ucapan ini dinukil dengan makna oleh Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه
الله dalam “I’lamul Muwaqqi’in” (2/hal. 211).
[30] Maksud Khaidir Syaikh Robi’ sudah bilang semuanya salafi, sudah nggak perlu lagi bantah membantah, taqlid saja sama beliau.
[31] Lihat tarjamah/biografi ‘Amir bin Sholeh di Tahdzib Al-Kamal.dimana Al-Mizzi berkata:
قال عبد الله بن أحمد بن حنبل ، عن أبيه : ثقة ، لم يكن صاحب كذب.
Berkata ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya: Tsiqoh dia bukanlah pendusta.
[32]
Barangkali di sisi Khaidir pemuda yang semacam ini adalah sebab
perselisihan dan perpecahan yang haram, orang yang suka berbicara
fitnah.
[33] Sebagaimana pada ucapannya yang telah lewat:
“Tapi jelas secara umum
Makassar, Sulawesi tetap kita masih jaga, tetap kita jaga, tetapi sulit
kita membendung di Makassar sudah ada sedikit sebab jelas kapan permasalahan ini dimasukkan terjadi perselisihan“
Dan ucapannya:
“Mungkin kedua dari dua kelompok ini
punya maksud masing-masing mau menjelaskan perkara ini, mau menjelaskan
sesuai dengan pahamnya masing-masing –iya- dalam melihat perkara ini, tapi jelas dan tidak bisa dipungkiri perpecahan di antara salafiyyin dan itu haram“
[34] Kesalahan ini saja di sisi Syaikh Ahmad An-Najmi rahimahullah sudah berhak untuk dihajr (diboikot), di mana beliau berkata:
عند الشباب السلفي غيرة إذا
وجدوا مخالفة للسنة في مؤلف أو في شريط، أو رأوا من أهل السنة من يمشي مع
المبتدعة بعد النصح أنكروا ذلك ونصحوه أو طلبوا من بعض المشايخ نصحه، فإذا
نصح ولم ينتصح هجروه، وهذه منقبة لهم، وليست مذمة لهم. ["الفتاوى
الجلية"/1/232-234]
“Para pemuda salafi punya
kecemburuan apabila mereka mendapati penyelisihan terhadap sunnah dalam
karya tulis atau kaset, atau melihat dari kalangan ahlus sunnah yang
berjalan bersama mubtadi’ah (ahlul bid’ah) setelah nasihat,
mereka akan mengingkarinya dan menasihatinya atau meminta dari sebagian
masyayikh untuk menasihatinya, apabila sudah dinasihati tapi dia tidak
menerima nasihat, merekapun menghajrnya, dan ini adalah keutamaan bagi mereka dan bukanlah suatu kekurangan bagi mereka.” [“Al-Fatawa Al-Jaliyyah” 1/232-234].
Adapun Khaidir hadahullah berkata:
“Syaikh ‘Abdullah kasi nasihat ini meluruskan paham, masyayikh
meluruskan paham sebab apa melihat maslahat dakwah salafiyyah. Iya
perkara yang diperselisihkan perkara yang diperselisihkan yang
menyebabkan perpecahan perkara yang tidak perlu menjadi sebab perselisihan di antara salafiyyun.
[35]
Terus apa tanggapanmu dengan ucapan ‘Abdullah Bukhari bahwa Syaikh
Muqbil pernah jadi khoriji dan Syaikh Yahya dan yang bersamanya
orang-orang dungu, fanatiknya terhadap ‘Ubaid Jabiri dan sebagainya?!
Ini cukup sebagai bantahan untuk Khaidir dan semisalnya.
([36]) Tambahan editor وفقه
الله: kita semua masih amat butuh belajar sampai ajal tiba, hanya saja
Khoidir ini telah memancangkan dakwah dengan gelar ustadz, tapi
perkataannya yang beracun tadi menunjukkan kebodohan dirinya terhadap
dasar-dasar Ahlussunnah yang diselisihinya itu, yang tidak pantas
seorang “dai salafiy” untuk tidak mengetahuinya.
[37] Insya Allah
sebagian ikhwah di Soroako dan Wawondula yang pernah ketemu ana sewaktu
kepulangan ana dari Dammaj untuk nikah masih ingat bagaimana ana memuji
dan menghormati Khaidir setelah dia pulang dakwah dari soroako pada
salah satu majlis ana di Wawondula.
([38]) Tambahan editor وفقه الله: riwayat Al Imam Ahmad dalam “musnad” beliau (5114) dengan sanad shohih.
([39]) Tambahan editor وفقه
الله: Allohu akbar atas kesombongan dan ‘ujub yang berlebihan dari orang
ini. Sudah setinggi apa dirinya di pandangan matanya sehingga bisa
memastikan itu, tanpa bilang إن شاء الله lagi. Subhanalloh.
([40]) Tambahan editor وفقه
الله: kami mengakui kepada Alloh atas kelemahan kami. Akan tetapi bisa
jadi Alloh akan menghinakan si Khoidir ini karena kesombongannya, dengan
sebab kami, atau dengan sebab orang lain dari para hamba Alloh.
([41]) Tambahan editor وفقه الله: Al Imam Ayyub As Sakhtiyaniy رحمه الله berkata:
« ينبغي للعالم أن يضع الرماد على رأسه تواضعا لله عز وجل »
“Seharusnya
seorang alim itu meletakkan abu di atas kepalanya dalam rangka tawadhu’
kepada Alloh.” (“Akhlaqul ‘Ulama”/Al Ajurriy/hal. 52/shohih).
Al Imam Asy Syafi’iy رحمه الله berkata:
ينبغي للفقيه أن يضع التراب على رأسه تواضعا لله، وشكرا لله.
“Seharusnya
seorang faqih itu meletakkan tanah di atas kepalanya dalam rangka
tawadhu’ kepada Alloh, dan syukur pada Alloh.” (“Siyar A’lamin
Nubala”/Adz Dzahabiy/hal. 10/hal. 53).
Ini
untuk orang alim dan faqih, maka bagaimana dengan orang yang baru
memposisikan diri ke tingkat ustadz? Kenapa sesombong itu? Jika
demikian, maka jatuhlah martabat dirinya. Al Imam Asy Syafi’iy رحمه الله
berkata:
“Tidaklah
seseorang itu menyombongkan diri di hadapanku terhadap kebenaran dan
menolaknya, kecuali harga dirinya akan jatuh di mataku. Dan tidaklah dia
menerima kebenaran kecuali aku akan merasa segan kepadanya dan merasa
cinta padanya.”
(“Siyar A’lamin Nubala”/Adz Dzahabiy/hal. 10/hal. 33).
Sumber Sawakung.blogspot.com